SEGAPMedia. Online, Bangka belitung- Isu keadilan yang menjadi hakikat dasar dalam diskursus keilmuan hukum, sesungguhnya adalah persoalan perenialis, abadi, dan tidak pernah menemui titik daluarsa sepanjang sejarah kehidupan manusia. Pencarian akan nilai dan wujud keadilan yang substantif, mengiringi perjalanan panjang waktu dalam setiap segmen sejarah, seiring dengan pola perkembangan pemikiran dan peradaban yang juga terus membentang dalam bentuk piramida terbalik, semakin lama menjadi semakin lengkap dan kompleks.
Dalam mengenali hakikat yang demikian itu, tidaklah cukup bagi manusia untuk menggali dirinya dengan pandangan positivistik, berpacu pada apa yang ada, terlihat, dan terlukis didepan mata. Alih-alih, cita rasa keadilan yang sebenarnya, harus diawali dengan langkah ‘mundur kebelakang’, untuk melihat secara jernih bagaimana sistem hukum dan segala forma pemikiran itu terlahir, sebab ontologis, tujuan teleologis, batasan epistemologis, dan rasa aksiologis-Nya. Sejarah hukum, adalah sejarah seluruh umat manusia.
Sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, manusia tidak diciptakan secara semerta dengan segala kemodernisasian, kecanggihan pemikiran, dan keluasan pengetahuanya seperti saat ini. Jauh sebelum spesies ini berdikari dalam euforia kecerdasanya, ia ‘hanyalah’ sosok Homo Sapiens, kira-kira, spesies dengan kedudukan taksonomi yang setara dengan famili hominid lainya. Fakta-fakta antropologi dengan bantuan biologi molekuler dan perkembangan sains yang terintegrasi di era modern, menjelaskan secara gamblang bagaimana kerangka ilusi intersubjektif yang mengalienasi manusia dari hakikat ke-spesiesan-nya adalah semu. Ia mutlak bagian dari lingkungan, atau meminjam bahasa Darwin, ia adalah bagian dari alam yang terbentuk-baur melalui evolusi yang dapat dijelaskan dengan pendekatan logika dan sains, menghindari dogma.
Meski memerlukan penjelasan yang kompleks mengingat egosentrisme manusia telah tertanam benar dalam setiap pola pemikiran dan terjustifikasi melalui realitas intersubjektif, namun tidak mengalihkan kenyatakan mengenai realitas asli bahwa pada hakikatnya, manusia adalah bagian spesies kingdom animalia. Hal ini sifatnya a priori, tidak terbantah meski tiada yang mempercainya, ia mengampu konseptualisasi dasar sains sebagaimana premis bahwa matahari lebih besar daripada bumi. Terlepas dari kuantitas subjek yang ber-iman akan hal demikian, namun matahari tetap (memang) lebih besar dari bumi, dan manusia adalah spesies hominid.
Dialektika perkembangan kemanusiaan dalam tahapan berikutnya menjurus pada serangkaian perubahan mendasar yang secara signifikan membelokan hakikat ke-spesies-anya hingga mengubah takdir dan pola adaptasi Si Mahkuk Bijak (secara harfiah, Homo Sapiens berarti Manusia Bijaksana). Setiap jenis mahluk hidup diatas muka bumi, dibatasi kemampuanya oleh kode genetik dalam DNA-nya. Seperti singa yang ditakdirkan untuk hidup dengan memburu hewan lain, bukan mengunyah batang jerami atau terbang melintasi awan. Kemampuan dan ketidakmampuan Singa untuk melakukan sesuatu telah terdikte dengan jelas dalam runtutan sel dan molekul yang menjadi komponen terkecil dalam tubuhnya. Namun, berbeda nasibnya dengan hewan dan kerabat-kerabat biologisnya, manusia mendikte dan menyusun sendiri ‘takdir’ hidupnya melalui dua instrumen pokok, yakni kecerdasan otak, dan kemampuan komunikasi secara fleksibel serta dalam jumlah yang tidak terbatas. Dua kemampuan ini, adalah modal dasar bagi manusia untuk melepas hakikat Homo Sapiens-nya dan beranjak menjadi Homo yang lebih tinggi, dalam bahasa Yuval Noah Harari, Homo Deus, atau Homo Deva, dalam pelafalan Mary Belknap.
Apapun istilahnya, manusia memulai lembaran sejarah baru dengan sebuah ‘pertaruhan buruk’ yang kemudian distilahkan dengan Revolusi Pertanian, sebuah transisi pola kehidupan berburu mengumpulkan makanan dan nomaden, menjadi berbasis pertanian dan menetap. Konsekuensi logis dari ketersediaan pangan yang melimpah dari pertanian adalah pertambahan jumlah populasi yang pesat, berkembangnya penyakit akibat pemukiman terpusat, dan dimulainya era degradasi lahan yang semakin menyusut dari waktu ke waktu. Kabar buruknya, pertaruhan ini tidak dapat dikembalikan, dalam arti, bahwa jika kondisi-kondisi tetap stabil, maka pertambahan jumlah populasi akan terus meroket, sebuah masalah yang diprediksi menjadi bencana diawal abad ke-22 nanti, mengikuti pemikiran Malthus dan Neo-Malthusian.
Namun, revolusi pertanian sebagai sebuah pertaruhan tidak seluruhnya menghasilkan nilai keburukan, penyakit, dan bom waktu, melainkan juga menjadi tolak pangkal bagi apa yang kita sebut sebagai sebuah kemajuan peradaban. Dengan pertambahan populasi dan terebentuknya koloni-koloni penduduk yang terpusat serta terus bertambah jumlahnya, maka muncul kebutuhan untuk menciptakan struktur sosial, nilai-nilai, asas, dan norma agar kehidupan dapat teratur dan terhindar dari konflik. Necessity is the mother of all invention. Dengan dorongan kebutuhan itulah, kemudian lahir pemikiran-pemikiran, realitas ketiga dalam kehidupan mahluk hidup, yakni realitas intersubjektif, suatu realitas yang sepenuhnya bergantung pada kepercayaan kolektif, atau bahasa singkatnya, realitas imajenasi. Negara, ideologi, Hak Asasi Manusia, bendera, hukum, dan agama, adalah wujud konkret dari perkembangan peradaban umat manusia.
Peradaban awal yang muncul dengan kapasitas intelegensia dan warisan pemikiran agung, adalah peradaban Yunani Kuno, dengan pemikir-pemikir Sofisme sekaliber Protagoras dan Georgias, disulam kembali melalui dialektika falsifikasi oleh Socrates, Platon, dan Aristoteles, dan berlanjut dengan pemikir-pemikir besar setelahnya. Filsafat menjadi penghantar bagi kemajuan berfikir dan menerangi lorong peradaban. Sepanjang waktu, dalam uraian sangat singkat, filsafat berkembang dengan beberapa tahap yang terkarakterisasi secara diferensial, dan mencerminkan konsep berfikir tiap waktu yang bervariansi, yakni filsafat dengan cita Kosmosentris, Antroposentris, Teosentris, Logosentris, dan Post-logosentris.
Sepanjang tahap peradaban berfikir itu, hukum sebagai bagian entitas intersubjektif, telah turut berkembang dan meraba-raba ramuan komposisi guna menghasilkan cita-rasa keadilan yang seideal-idealnya. Dimulai dengan upaya pencarian relatifisme Protagoras, dan diakhiri dengan kontra-reduksionisme Habermas atau progresifitas Satjipto Raharjo, kesemuanya adalah bagian dari upaya pencarian yang tidak memiliki akhir, tidak berujung, dan tidak akan pernah selesai.
Meski begitu, bukan berarti pencarian kebenaran harus berhenti. Sejak abad ke-17an, Hegal telah menasehati, bahwa para pemikir tidak harus berhenti dalam mengarungi dialektika, sebuah telaah tesis-antitesis-sintesis yang selalu berusaha menemukan suatu kebenaran positif, bukan kebenaran mutlak. Oleh karenanya, sudah benar bahwa hukum itu tidak dapat berhenti.
Sekarang, manusia masih dihadapkan dengan serangkaian problema mendasar yang menghiasi ruang pikir berhukum, yakni dominasi ‘kuno’ positivisme yang mengakar kuat dalam budaya hukum bangsa ini, sifat-sifat dasar positivisme dengan ontologi logika sainstifiksi ilmu sosial bukan tanpa konsekuensi, sebuah daftar panjang kelamahan telah terbukti dari waktu-waktu, sebuah proven formula bahwa perlu ada transisi. Untuk itulah, narasi kuat dikalangan para filsuf saat ini bukan lagi guna mempertahankan stabilitas, melainkan adalah konsep post-modernisme, menggoyahkan modernitas dan berusaha menawarkan paradigma baru yang andal, semisal Paradigma Holistik guna mensubtitusi Cartesian Newtonian, meski forma semacam ini belum mencapai tahap finalisasi, melainkan masih dalam tataran falsifikasi.
Dengan kondisi perubahan-perubahan yang dinamis itulah, buku ringan ini dituliskan sebagai bagian upaya mendorong terbentuknya forma hukum yang seideal-idealnya mampu melahirkan cita rasa keadilan substantif. Hukum terlahir dengan gagasan, dilaksanakan dengan tindakan, dan dijaga dengan persatuan serta stabilitas. Penjagaan atas tujuan hukum, harus dilakukan dengan mempelajari hakikat masa lalu, tujuan masa kini, dan implementasi masa depan. Hukum adalah cerita sepanjang kehidupan manusia.
(red/segapmedia.online)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Yuk tulis kesanmu setelah membaca tulisan di atas. Masukan, kritik, dan saran. Terima kasih. Salam literasi.