Oleh: Alfaenawan
Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Perubahan sistem penyelenggaraan ketatanegaraan Indonesia mengalami perkembangan yang sangat besar, mulai dari masa orde lama, masa orde baru, dan masa reformasi. Pada saat amandemen UUD sebanyak empat kali pada tahun 1999-2002, perubahan mengenai sistem ketatanegaraan begitu signifikan. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) merupakan salah satu lembaga negara yang mengalami perubahan yang sangat mendasar terutama mengenai kewenangannya setelah amandemen UUD 1945. Sebelum amandemen, MPR merupakan lembaga tertinggi negara sehingga berwenang mengubah dan menetapkan UUD, GBHN, dan memilih Presiden & Wakil Presiden. Kewenangan yang besar ini terjadi saat pasal 1 ayat 2 UUD berbunyi “Kedaulatan rakyat berada ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR”. Adapun setelah amandemen dirubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Dengan demikian, kedaulatan rakyat tidak lagi dipegang oleh MPR karena bukan lagi supremasi parlemen melainkan sudah diganti dengan supremasi konstitusi. MPR juga tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara serta mempunyai kewenangan yang sangat terbatas, bahkan kewenangan yang rutin hanya melantik Presiden dan Wakil Presiden setiap lima tahun sekali.
Perubahan mendasar mengenai kewenangan MPR menunjukan perkembangan sistem pemerintahan presidensial di Indonesia. Sehingga kedaulatan tidak hanya diberikan kepada parlemen seperti masa sebelum reformasi. Tetapi diberikan oleh lembaga legislatif dan eksekutif. Dalam hal ini, kedaulatan rakyat harus diberikan kepada dua lembaga yaitu, parlemen seperti DPR dan presiden. Oleh karena itu, sebelum reformasi sistem presidensial yang berlaku belum tegas bahkan seperti sistem parlementer karena begitu kuatnya kewenangan MPR. Selain perubahan mengenai kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara ada perubahan lain yang juga sangat mendasar yaitu keberadaan GBHN. Sebelum perubahan UUD, MPR memiliki kewenangan untuk menetapkan GBHN yang menjadi pedoman Presiden dalam menjalankan pembangunan nasional, jika Presiden melanggar GBHN yang telah ditetapkan MPR, maka Presiden dapat diberhentikan oleh MPR. Setelah UUD diamandemen sampai empat kali, akhirnya GBHN dihapus dalam konstitusi. Sistem penyelenggaraan pembangunan mengalami perubahan, sebagai penggantinya maka disusunlah Undang Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Sebagai tindak lanjut dari UU SPPN maka diundangkanlah Undang Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Namun RPJPN mendapat kritikan publik karena belum menggantikan GBHN sacara maksimal, sehingga perlu upaya untuk menghadirkan haluan negara yang lebih komprehensif.
Undang Undang Dasar (UUD) 1945 merupakan produk hukum tertinggi yang digunakan sebagai dasar dalam pembentukan produk hukum/peraturan perundang undangan yang di bawahnya seperti UU, PP, dll. Undang undang dasar 1945 merupakan konstitusi Indonesia yang menjadi dasar dalam mengatur negara. Setelah runtuhnya rezim orde baru, Indonesia memasuki era baru yakni era reformasi. Di era ini mengalami amandemen UUD sampai empat kali pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Amandemen ini tentu memiliki kelebihan dan kekurangan, hal ini dikarenakan keterbatasan ruang dan waktu pada saat UUD diamandemen. Oleh karena itu, setelah dua puluh tahun reformasi tentu sudah cukup untuk melakukan evaluasi ulang terhadap sistem ketatanegaraan di Indonesia. UUD yang sudah diamandemen sampai empat kali ternyata masih banyak kekurangan yang harus disempurnakan. Dengan demikian, sangat penting untuk melakukan amandemen kelima UUD agar sistem ketatanegaraan di Indonesia bisa tersetruktur, sistem demokrasi berjalan dengan sempurna, pembagian kekuasaan yang terdistribusikan dengan baik, dll.
Indonesia sebagai negara hukum tentunya penyelenggaraan negara juga harus sesuai dengan prinsip-prinsip hukum seperti adanya pembagian kekuasaan, saat ini Indonesia sudah berkembang dari sistem otokrasi di era orde baru menjadi desentralisasi di era reformasi. Sebelum amandemen MPR mempunyai kekuasaan yang sangat kuat, hal ini dapat dilihat dari UUD 1945 (sebelum perubahan) dalam Pasal 1 Ayat 2 menyatakan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR” hal ini menunjukan diberlakukan supremasi parlemen (kedaulatan dilaksanakan oleh parlemen). konsep supremasi parlemen ini ditandai dengan adanya lembaga tertinggi negara dengan menjalankan fungsi parlemen, serta lembaga tersebut memiliki keputusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga negara lainnya (hanya bisa diubah oleh lembaga tertinggi itu sendiri). Hal ini sesuai dengan lembaga MPR sebagai lembaga tertinggi, presiden menjadi mandataris MPR, bahkan MPR dapat melakukan impeach terhadap Presiden. Fungsi dan wewenang MPR mempunyai berbagai kekurangan seperti MPR dapat melakukan apapun karena menjadi lembaga tertinggi, sehingga MPR menjadi lembaga yang diktator yang tidak dapat direview oleh lembaga lain, selain itu adanya lembaga tertinggi di sebuah negara maka mekanisme keseimbangan dan pembagian kekuasaan akan sulit direalisasikan secara maksimal.
Dengan mempertimbangkan berbagai kekurangan tersebut, maka UUD diamandemen, untuk mempertegas sistem pemerintahan presidensial dan mekanisme check and balances di Indonesia agar berjalan dengan maksimal. Salah satu pasal yang mengalami perubahan adalah pasal 1 ayat 2 berubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar” dengan demikian MPR menjadi lembaga tinggi negara sejajar dengan lembaga negara lainnya. Selain itu, fungsi dan kewenangan MPR juga telah dikurangi, misalnya model pemilihan presiden dan wakil presiden dari dipilih MPR menjadi pemilihan langsung oleh rakyat, sehingga MPR hanya berwenang mengubah dan menetapkan UUD, melantik presiden dan wakil presiden, memberhentikan presiden dan wakil presiden menurut UUD, menetapkan calon pasangan presiden maupun wakil presiden jika terjadi kekosongan pasangan presiden maupun kekosongan wakil presiden. Berbagai perubahan karena Indonesia tidak lagi menerapkan supremasi parlemen melainkan berubah menjadi supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi ini artinya segala hal yang berkaitan dengan kedaulatan rakyat harus berpedoman pada UUD.
Supremasi parlemen di Indonesia harus diubah karena menyebabkan munculnya berbagai persoalan. Jika melihat sejarah, pertama pada masa orde lama maupun orde baru kedudukan MPR sebagai otoritas tertinggi menimbulkan pemerintahan diktator. Kedua kekuasaan parlemen dan presidensial tidak seimbang, pemakzulan presiden dapat dengan mudah dilakukan oleh parlemen seperti pemakzulan secara politik terhadap Presiden Abdurrahman Wahid. Ketiga MPR sebagai lembaga tertinggi negara menjadikan kedudukan MPR yang tidak lazim, sehingga prinsip check and balances akan sulit diimplementasikan. Keempat, keputusan yang ditetapkan oleh MPR bisa tidak sesuai dengan keinginan rakyat, bahkan terkadang kurang sejalan dengan konstitusi, karena MPR merupakan elit politik yang tidak selalu membuka diskusi publik secara keseluruhan.
Amandemen kelima UUD memang perlu dilakukan, walaupun amandemen keempat UUD 1945 sudah menunjukan hasil terhadap perubahan dalam sistem demokrasi. Namun masih mempunyai banyak kekurangan. Perlu diingat bahwa amandemen dilakukan harus dilandasi dengan alasan yang tegas guna memperbaiki dan menyempurnakan sistem ketatanegaraan. Amandemen kelima UUD 1945 perlu dilakukan, yang masih dalam wacana untuk mengembalikan Garis Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam konstitusi. Adapun amandemen UUD dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan pasal 37 ayat 1-5 UUD 1945 yang menyatakan bahwa 1) Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR, 2) setiap usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas beserta alasannya, 3) untuk mengubah pasal-pasal UUD, sidang MPR dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR, 4) putusan untuk mengubah pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% ditambah satu dari seluruh anggota MPR, 5) Khusus mengenai bentuk negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.
Haluan negara menurut KBBI adalah bagian perahu yang sebelah muka, yang terdahulu, arah, tujuan, pedoman (tentang ajaran dan sebagainya), sedangkan menurut TAP MPR No. II/MPR/1998, Garis-garis Besar Haluan Negara adalah suatu Haluan Negara dalam garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak rakyat yang pada hakikatnya merupakan Pola Umum Pembangunan Nasional yang ditetapkan oleh MPR. Adanya haluan negara dilatarbelakangi oleh masalah pembangunan nasional yang tidak terarah dengan baik, visi-misi presiden dan kepala daerah di seluruh tanah air beraneka ragam, pergantian masa jabatan setiap 5 tahun sekali membuat sistem pembangunan tidak terarah secara komprehensif. Selain itu, banyaknya partai politik di Indonesia turut memperparah arah tujuan bangsa. Wacana untuk menghidupkan kembali PPHN/haluan negara melalui amandemen terbatas adalah untuk mewujudkan pembangunan berkesinambungan. Pembangunan nasional maupun daerah provinsi, kabupaten dan kota harus terintegrasi dan terpadu guna memajukan bangsa dan negara. Dalam amandemen terbatas ini hanya akan fokus pada penetapan haluan negara seperti GBHN, namun timbul kekhawatiran masyarakat apabila amandemen dilakukan maka akan banyak muatan atau kepentingan politik yang masuk dalam UUD. Kekhawatiran publik dalam amandemen ini meliputi presiden akan dipilih oleh MPR, memperpanjang masa jabatan presiden, menjadikan presiden sebagai mandataris MPR seperti era orde lama maupun orde baru, dll. Sehingga sistem pemerintahan akan kembali seperti orde baru.
Selepas dari berbagai kekhawatiran masyarakat terhadap amandemen kelima ini, penulis berpandangan bahwa apabila amandemen memang hanya dilakukan untuk menetapkan MPR sebagai lembaga tertinggi dan memberlakukan GBHN maka akan berimplikasi kedudukan lembaga tinggi negara seperti presiden, MA, MK, BPK, dll akan dibawah MPR sebagai lembaga tertinggi. Prinsip check and balances akan sulit diterapkan di Indonesia. Adanya GBHN juga akan kontradiktif dengan sistem pemerintahan yang dianut di Indonesia, yaitu sistem presidensial. Karena dalam sistem presidensial mandat rakyat dibagi kepada parlemen dan presiden, sedangkan GBHN hanya akan dipegang oleh MPR. Dengan demikian, GBHN/PPHN cocok diterapkan dalam sebuah negara yang menerapkan sistem parlementer. Selain itu, pemberlakuan GBHN akan merubah fungsi dan kewenangan berbagai lembaga negara, misalnya MK apakah berwenang mereview haluan negara yang disusun oleh MPR apabila bertentangan dengan konstitusi, tentu tidak karena MPR sebagai lembaga tertinggi. Oleh karena itu, haluan negara berpotensi merubah sistem ketatanegaraan secara signifikan karena menempatkan mandat rakyat hanya kepada MPR dan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi.
Penulis memberikan solusi yang bisa dilakukan agar amandemen kelima UUD 1945 bisa dilakukan secara maksimal tanpa merubah banyak sistem ketatanegaraan yang dianut oleh Indonesia. Agar pembangunan nasional bisa berjalan secara terpadu dan berkesinambungan, serta menyatunya visi misi yang dimiliki berbagai partai politik, pertama, dengan memperbaiki peraturan sesuai dengan perkembangan zaman melalui revisi UU Nomor 17 Tahun 2007 yang mengatur RPJPN selama 20 tahun, sehingga presiden dan wakil presiden memiliki pedoman dalam menyelenggarakan pembangunan nasional. Selain RPJPN ada juga Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang ditetapkan melalui peraturan presiden untuk jangka waktu lima tahun ke depan. Revisi undang undang ini tentu harus membuka ruang publik agar penyelenggaraan pemerintahan daerah sampai pemerintahan pusat benar benar sesuai dengan kehendak rakyat, bukan kepentingan politik. Kedua, pelaksanaan terhadap haluan negara yang berbentuk peraturan atau perundang-undangan terus dilakukan, agar tidak hanya sebagai tulisan di atas kertas, haluan negara seharusnya disusun dengan melibatkan berbagai kalangan masyarakat, dengan membuka ruang publik seluas-luasnya dalam menyusun haluan negara.
Solusi yang ketiga, jika bentuk hukum GBHN/haluan negara dicantumkan dalam ketetapan MPR, maka bisa melalui revisi UU P3 (Peraturan Pembentukan Perundangan-undangan). Namun jika kewenangan MPR untuk menetapkan haluan negara harus dilakukan melalui amandemen UUD 1945. Maka MPR harus memiliki kedudukan sebagai lembaga tinggi negara sejajar dengan lembaga negara lainnya. Presiden juga tidak boleh menjadi mandataris MPR, karena akan berimplikasi pada impeachment (pemakzulan) terhadap presiden. Haluan negara seharusnya tidak hanya disusun oleh lembaga MPR melainkan dengan melibatkan berbagai lembaga tinggi negara, seperti Presiden dan DPD diberi kesempatan untuk turut serta menyusun haluan negara. Sehingga mekanisme check and balances serta sistem presidensial bisa diselenggarakan secara maksimal. Penulis menawarkan persoalan yang perlu disempurnakan dalam amandemen kelima UUD untuk memperkuat fungsi dan kewenangan berbagai lembaga negara, misalnya penguatan fungsi dan wewenang DPD, menambah fungsi dan kewenangan KY, mempertegas sistem presidensial, memperkuat prinsip check and balances, memperbaiki mekanisme impeach terhadap presiden dan/atau wakil presiden, dll. Sehingga amandemen yang dilakukan seharusnya secara keseluruhan, karena amandemen terbatas pada GBHN/PPHN merupakan persoalan yang bisa diatur melalui amandemen, sedangkan penguatan berbagai lembaga negara lebih penting dari pada haluan negara.
Pada dasarnya UUD 1945 merupakan konstitusi yang hidup (the living constitution), sehingga tidak menutup kemungkinan mengalami perubahan. UUD 1945 telah diamandemen sebanyak empat kali, perubahan mendasar dari UUD setelah amandemen keempat ini adalah perubahan dari gagasan supremasi parlemen menjadi supremasi konstitusi. Selain itu, juga terjadi perubahan dari sistem otokrasi menjadi desentralisasi, sehingga pembagian kekuasaan mengalami perkembangan. Amandemen sebanyak empat kali ini merupakan sebuah kemajuan bagi bangsa. Walaupun demikian, hasil amandemen keempat UUD masih mempunyai banyak kekurangan, sehingga perlu melakukan amandemen kelima guna menyempurnakan sistem ketatanegaran di Indonesia. Adapun amandemen terbatas UUD yang hanya menyangkut kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan menghidupkan kembali GBHN merupakan wacana yang tidak kompatibel dengan sistem presidesial di Indonesia, hal ini dikarenakan pemegang mandat bukan hanya MPR melainkan presiden juga mempunyai mandat dari rakyat, hal ini dikarenakan presiden dipilih oleh rakyat secara langsung
Haluan negara penting untuk diadakan agar pembangunan negara dalam berbagai bidang berjalan secara terpadu dan berkesinambungan. Namun haluan negara tidak harus mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi dan dalam bentuk GBHN sama seperti masa orde baru. Penulis menawarkan beberapa solusi agar pembangunan nasional dan daerah tetap berkesinambungan, salah satunya melakukan revisi Undang Undang 17/2007. Amandemen UUD harus dilakukan dengan alasan yang tegas dalam rangka memperbaiki sistem ketatanegaraan. Proses amandemen UUD juga harus dengan kecermatan dan pembahasan yang mendalam, karena akan berimplikasi pada konstruksi hukum tata negara secara keseluruhan. Penulis menawarkan persoalan yang lebih penting dari pada GBHN, salah satunya adalah memperkuat fungsi dan wewenang DPD melalui amandemen kelima UUD 1945.
Daftar Pustaka
Asshiddiqie, J. (2014). Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Atmasasmita, R. (2012). Teori Hukum Integratif. Publishing: Yogyakarta.
Indrayana ,D. (2007). Amandemen Undang Undang Dasar 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, Bandung: Mizan
Hartato, D. (2009). Problematika & Solusi Amandemen UUD 1945. Jakarta: Gramedia.
Huda, N. (2005). Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Isra, S. (2010). Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia. Jakarta: PT Rajasa Grafindo Persada.
Sunny, I. (1982). Pembagian Kekuasaan Negara. Jakarta: Aksara Baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Yuk tulis kesanmu setelah membaca tulisan di atas. Masukan, kritik, dan saran. Terima kasih. Salam literasi.