Pieter: Rempah, Gulden, dan Bonyaga Ambisius - SEGAP Media .Online | Students Media for Indonesia

Breaking


Kamis, 07 Oktober 2021

Pieter: Rempah, Gulden, dan Bonyaga Ambisius

 

Lukisan orang Banda menjual pala kepada komisioner Belanda (1599) Oleh Tweee Boeck, 1601 (segapmedia.online)

 

Oleh: Dafiq Febriali Sahl*

Siswa SMA 1 Pasuruan 


Tulisan Dafiq Febrialu Sahl ini berawal dari berulang-ulangnya genealogi rempah mengisahkan perniagaan rempah penuh semangat memecah kemustahilan peradaban manusia sejak abad ke-16. Bogaya dalam judul di atas bermakna pedagang antar benua.


“Aku tiada mengerti, anginnya cukup gusar untuk memandu Pieter pulang dengan segera” risau Inggit yang menanti suaminya di tepi dermaga Tanjung Tembikar, Pasuruan. Jan Pieterszoon Coen yang berdarah Belanda itu mengabdi sebagai supervisor Hongitochten (pelayaran rempah di Maluku) sekaligus bonyaga yang cukup 25 tahun bermodal asa mengarungi emporium-emporium Asia hingga Eropa mengantar pala, merica, kapulaga, dan lada.

 

Ekspedisi yang menelan jutaan gulden itu telah mengilhami untung besar bagi Pieter, tapi tidak bagi jiwanya. Pieter tunduk pada kompeni hanya karena jiwanya tak cukup berani menantang tirani.

Istriku sayang…!!!!

Terdengar keras teriakan Pieter dari pucuk kapal sembari mengayunkan tangan dan tersenyum hangat menyapa Inggit. Sontak Inggit berlari terseok-seok ke arahnya dan memeluk rindu yang terpuruk.


Pieter, Inggit, dan putra tunggalnya, Dimas, hidup di perkampungan priayi dan tuan tanah yang feodal. Hidupnya tidak semata-mata cukup seperti borjuis. Istrinya


mengidap kanker, juga biaya selangit untuk sekolah Dimas di Amsterdam. Kerumitan itu senantiasa menjadi cambuk bagi Pieter untuk membanting punggung tanpa canggung. Dua hal yang menolong kehidupan mereka, yakni rempah dan kapal.


Nyanyian malam hari menghangatkan perbincangan Pieter dan Inggit di teras rumah. Tidak sekalipun keheningan itu menampung benak Pieter yang berhamburan.


“Inggit, sebenarnya ada hal penting untuk aku bicarakan” kata Pieter. “Ada apakah suamiku?” jawab Inggit sembari mengerucutkan alisnya.


“Tuanku, Frederik Hendrik, mengutusku ke Sri Lanka untuk memerdagangkan rempah-rempah dari Dahanapura, Blambangan hingga Pelabuhan Kambang Putih, Tuban, tidak hanya itu, Tuanku Hendrik menyuruhku merampas lalu membakar ladang kayu manis di sana” gumam Pieter sambil menyungkurkan kepala.


“Tidakkah itu semua berlebihan?” sahut Inggit bercampur heran dan marah. “Pecahnya perang Belanda dengan Inggris pada Desember 1780, perang Prancis


dengan Inggris pada Januari 1795, hingga tegaknya Bataafse Republiek telah menggeret rugi yang keji bagi kompeni saat ini, menjadikan pribumi diperas hingga terkuras” argumentasi Pieter terselimuti kecewa pada kongsi yang tiada hati.


Termenung lah Inggit dalam kemelut penolakannya.


Pagi-pagi buta di awal bulan Desember 1798, ufuk timur mendaratkan 8 kapal penuh serdadu kompeni untuk menjemput Pieter. Serdadu itu sedikitnya memborong ratusan kilogram cengkih, kayu manis, merica, pala, lada, jahe, kencur, garam, tebu, hingga beras yang masih segar dari tengkulak atau tuan tanah di Jawa Timur seharga total 20.000.000  gulden  (termasuk  equipage yaitu pengadaan dan perlengkapan kapal-kapal beserta biaya dan ongkos kirim) yang  bisa  menjelma  menjadi  270.000.000 gulden saat ditawar bangsawan dan kapitalis Eropa.


“Aku berangkat dulu, jangan risaukan aku bahkan lupakanlah aku demi kebahagiaan kita,”tutur Pieter dengan pilu yang semakin runtuh.


“Bagaimana aku mampu melupakanmu jika engkau adalah ingatanku?” menangislah Inggit di pundak Pieter untuk kepergiannya yang sungguh berat.

Dewa Neptunus rupanya mendayung ambisi Pieter, bagaimana tidak setelah berdagang di pasar-pasar Banten, dalam 12 hari 12 malam Pieter mengarungi Selat Karimata hingga Selat Malaka dan membuang sauh di Banda Aceh.


Persiapan selama 3 hari meyakinkannya bertolak ke Sri Lanka.


Suasana perdagangan rempah-rempah,
buah-buahan, dan obat-obatan di Banten Oleh Ledewycksz, 1598 (segapmedia.online)


“Tuanku Pieter! Tuanku Pieter!”

Belum juga seperempat dari Samudera Hindia, juru tinjau Pieter berteriak kebingungan dengan puluhan kapal Portugis yang terpantau mendekat dari barat ke arahnya kilometer demi kilometer. Benak Pieter menggumpalkan keputusan “lebih baik dihempas daripada dirampas.”


“Divisi 1 sampai 6!, tenggelamkan seluruh dagangan kalian!, cambuk layar kalian!, dan mendayunglah sejauh mungkin!” teriak Pieter dari anjungan kapalnya.


Dua kapal dengan berani merintangi ketidakpastian, 1 diantaranya melaju ke utara untuk mengecoh armada Portugis dan 1 lainnya yaitu kapal Pieter sendiri langsung menuju Sri Lanka. Beruntung saja armada Portugis membuntuti kapal pengecoh hingga ke Pelabuhan Chennai, India Timur. Berita itupun diketahui commandeur di Sri Lanka. Pieter dengan terengah-engah disambut di pangkalan selatan Sri Lanka yang terbangun sejak tahun 1667. Seluruh perkakas dan dagangan diangkut tanpa bea dan seluruh awak kapal diperiksa lalu diistirahatkan.


Keesokan harinya Pieter disuguhkan kabar suka sekaligus duka dari Rijklof van Goens (kepala staf commandeur atau kepala kantor Syahbandar di Sri Lanka dan Malabar, Sri Lanka). Dukanya, Pieter harus kehilangan kayu manis sebab terlebih dulu dirampas hingga tumpas oleh Portugis yang dipimpin Vasco da Gama. Sukanya, 15 ton rempah-rempah di kapal Pieter ditawar 31.000.000 gulden oleh Van der Chijs (investor Verenigde Oostindische Compagnie).


(red/segapmedia.online)


*Penulis merupakan alumni Parlemen Remaja DPR RI 2021 Dapil Jawa Timur II

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Yuk tulis kesanmu setelah membaca tulisan di atas. Masukan, kritik, dan saran. Terima kasih. Salam literasi.