![]() |
Lukisan orang Banda menjual pala kepada komisioner Belanda (1599) Oleh Tweee Boeck, 1601 (segapmedia.online) |
Tulisan Dafiq Febrialu Sahl ini berawal dari berulang-ulangnya genealogi rempah mengisahkan perniagaan rempah penuh semangat memecah
kemustahilan peradaban manusia sejak abad ke-16. Bogaya dalam judul di atas bermakna pedagang antar benua.
“Aku tiada
mengerti, anginnya cukup gusar untuk memandu Pieter
pulang dengan segera” risau
Inggit yang menanti suaminya di tepi dermaga Tanjung Tembikar, Pasuruan. Jan
Pieterszoon Coen yang berdarah Belanda itu mengabdi sebagai supervisor Hongitochten (pelayaran rempah di Maluku) sekaligus bonyaga
yang cukup 25 tahun bermodal asa mengarungi emporium-emporium Asia hingga
Eropa mengantar pala, merica, kapulaga, dan lada.
Ekspedisi
yang menelan jutaan gulden itu telah
mengilhami untung besar bagi Pieter, tapi tidak bagi jiwanya. Pieter tunduk
pada kompeni hanya karena jiwanya tak cukup berani menantang tirani.
Istriku sayang…!!!!
Terdengar
keras teriakan Pieter dari pucuk kapal sembari mengayunkan tangan dan tersenyum hangat menyapa Inggit.
Sontak Inggit berlari
terseok-seok ke arahnya
dan memeluk rindu yang terpuruk.
Pieter,
Inggit, dan putra tunggalnya, Dimas, hidup di perkampungan priayi dan tuan
tanah yang feodal. Hidupnya tidak
semata-mata cukup seperti borjuis. Istrinya
mengidap kanker,
juga biaya selangit
untuk sekolah Dimas
di Amsterdam. Kerumitan itu senantiasa menjadi cambuk bagi Pieter untuk membanting
punggung tanpa canggung. Dua hal yang menolong kehidupan mereka, yakni rempah
dan kapal.
Nyanyian
malam hari menghangatkan perbincangan Pieter dan Inggit di teras rumah. Tidak
sekalipun keheningan itu menampung benak Pieter yang berhamburan.
“Inggit,
sebenarnya ada hal penting untuk aku bicarakan” kata Pieter. “Ada apakah
suamiku?” jawab Inggit sembari mengerucutkan alisnya.
“Tuanku,
Frederik Hendrik, mengutusku ke Sri Lanka untuk memerdagangkan rempah-rempah
dari Dahanapura, Blambangan hingga Pelabuhan Kambang Putih, Tuban, tidak hanya
itu, Tuanku Hendrik menyuruhku merampas lalu membakar ladang kayu manis di
sana” gumam Pieter sambil menyungkurkan kepala.
“Tidakkah
itu semua berlebihan?” sahut Inggit bercampur heran dan marah. “Pecahnya perang
Belanda dengan Inggris
pada Desember 1780,
perang Prancis
dengan
Inggris pada Januari 1795, hingga tegaknya Bataafse
Republiek telah menggeret rugi yang keji bagi kompeni saat ini, menjadikan
pribumi diperas hingga terkuras” argumentasi Pieter terselimuti kecewa pada
kongsi yang tiada hati.
Termenung lah Inggit dalam kemelut penolakannya.
Pagi-pagi buta di awal bulan Desember 1798, ufuk timur mendaratkan 8 kapal penuh serdadu kompeni untuk menjemput Pieter. Serdadu itu sedikitnya memborong ratusan kilogram cengkih, kayu manis, merica, pala, lada, jahe, kencur, garam, tebu, hingga beras yang masih segar dari tengkulak atau tuan tanah di Jawa Timur seharga total 20.000.000 gulden (termasuk equipage yaitu pengadaan dan perlengkapan kapal-kapal beserta biaya dan ongkos kirim) yang bisa menjelma menjadi 270.000.000 gulden saat ditawar bangsawan dan kapitalis Eropa.
“Aku
berangkat dulu, jangan risaukan aku bahkan lupakanlah aku demi kebahagiaan
kita,”tutur Pieter dengan pilu yang semakin runtuh.
“Bagaimana
aku mampu melupakanmu jika engkau adalah ingatanku?” menangislah Inggit di pundak Pieter untuk kepergiannya yang sungguh berat.
Dewa
Neptunus rupanya mendayung ambisi Pieter, bagaimana tidak setelah berdagang di
pasar-pasar Banten, dalam 12 hari 12 malam Pieter mengarungi Selat Karimata
hingga Selat Malaka dan membuang sauh di Banda Aceh.
Persiapan selama 3 hari meyakinkannya bertolak
ke Sri Lanka.
![]() |
Suasana perdagangan rempah-rempah, buah-buahan, dan obat-obatan di Banten Oleh Ledewycksz, 1598 (segapmedia.online) |
“Tuanku Pieter! Tuanku Pieter!”
Belum
juga seperempat dari Samudera Hindia, juru tinjau Pieter berteriak kebingungan
dengan puluhan kapal Portugis yang terpantau mendekat dari barat ke arahnya
kilometer demi kilometer. Benak Pieter menggumpalkan keputusan “lebih baik
dihempas daripada dirampas.”
“Divisi
1 sampai 6!, tenggelamkan seluruh dagangan kalian!, cambuk layar kalian!, dan
mendayunglah sejauh mungkin!” teriak Pieter dari anjungan kapalnya.
Dua kapal dengan berani merintangi ketidakpastian, 1 diantaranya melaju ke utara untuk mengecoh armada Portugis dan 1 lainnya yaitu kapal Pieter sendiri langsung menuju Sri Lanka. Beruntung saja armada Portugis membuntuti kapal pengecoh hingga ke Pelabuhan Chennai, India Timur. Berita itupun diketahui commandeur di Sri Lanka. Pieter dengan terengah-engah disambut di pangkalan selatan Sri Lanka yang terbangun sejak tahun 1667. Seluruh perkakas dan dagangan diangkut tanpa bea dan seluruh awak kapal diperiksa lalu diistirahatkan.
Keesokan harinya Pieter disuguhkan kabar suka sekaligus duka dari Rijklof van Goens (kepala staf commandeur atau kepala kantor Syahbandar di Sri Lanka dan Malabar, Sri Lanka). Dukanya, Pieter harus kehilangan kayu manis sebab terlebih dulu dirampas hingga tumpas oleh Portugis yang dipimpin Vasco da Gama. Sukanya, 15 ton rempah-rempah di kapal Pieter ditawar 31.000.000 gulden oleh Van der Chijs (investor Verenigde Oostindische Compagnie).
(red/segapmedia.online)
*Penulis merupakan alumni Parlemen Remaja DPR RI 2021 Dapil Jawa Timur II
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Yuk tulis kesanmu setelah membaca tulisan di atas. Masukan, kritik, dan saran. Terima kasih. Salam literasi.