Oleh: Syahnanda Annisa
Mahasiswi Rekayasa Tekstil UII, Yogyakarta
Di sebuah rumah kecil di pelosok pedalaman perkebunan pulau
Andalas terdapat satu manusia yang sedang di jajah gelisah. Malam itu ia
terjebak dalam himpit. Himpit kejepit yang membuat tubuhnya gelisah dan basah.
Sebenarnya itu adalah kelebihannya yang bisa ia abaikan sebagai dirinya.
Kemampuannya, berbohong. Kemampuan menyembunyikan sesuatu. Tapi, kali ini ia
tak bisa lolos dari kemampuannya, ia kalah oleh oleh perasaan yang sedang riuh
ribut dalam dirinya. Mengapa ia baru merasakan semua saat semuanya seperti
terlupakan. Ia... menginginkannya. Sekali lagi, tapi tak ingin lagi.
Di tariknya sebuah kayu penyumbat gentong yang berisi air untuk membasuh wajah, telinga dan lehernya yang di rasanya sudah penuh coretan kesalahan, tumben-tumbennya ia memilih membasuh wajahnya dari air gentong. ia menyesal, sial, rupa-rupanya di dalam air itu sudah banyak jentik-jentik nyamuk. Itu humornya, ia kesal sekaligus jijik dan menertawakan kebodohan sendiri. Ia menggertu sebentar atas kebodohannya. Tapi, tunggu, ada yang lebih penting, penting baginya membingungkan semua dan apa maksudnya semua ini. Apa yang di maksudnya saat ini.
Dalam renungan tiba-tiba ia teringat bayang-bayang
catatan halaman paling belakang buku soal latihan yang sudah berjamur dan membau
itu, ada catatan yang ia pernah torehkan, sudah tidak begitu kelihatan, bekas
hapusan catatan itu ia pertegas tajam-tajam. Ia lupa, namun penasaran betul apa
yang pernah di tulisannya, dan mengapa, apa yang menjadi kejadian ini. Ia ingin
mengingat. Mengingat apa yang menjadi pilihannya malam itu, beberapa tahun
kebelakang. Pilihan dengan fatal kesalahan dan tentunya pilihan itu berdampak
sampai sekarang. Tetapi ia lebih merasa terjebak dalam kesempitan kebodohan.
Waktu itu ia tak punya pilihan, ya ia tak punya pilihan. Ia menyesal, sampai
sekarang, ia hilang.
Sendi, otot dan hormon pada dirinya seperti amukan massa yang meminta di turuti apa yang menjadi keinginnya. Tubuhnya pemimpin, hatinya kejujuran, dan akalnya meminta untuk segera di lakukan. Sial, ia pemimpin plin-plan. Setelah membasuh semua wajahnya yang basah ia masuk kedalam mahligainya lagi. Sendiri tentunya.
Namun jiwanya riuh tak terbendung oleh ia
yang padahal si tukang pembohong. Berkali-kali ia gusar sana-sini gelisah dari
kasur ke sofa dari kasur ke sofa. Kanan kiri kanan kiri tetap saja ia tak bisa
menenangkan semuanya. Sampai akhirnya di depan kaca ia melihat dirinya yang tak
seperti dulu, yang bersih, yang hidup, yang cinta dan beranalisa. Ia merindukan
semua. Begitu juga ingin berjumpa dengannya. Hasrat yang ia paling benci, namun
ia tak dapat bohong lagi.
Sambil menimbang apa yang ingin ia lalukan, tentunya ia hanya menggenggam telepon dan membuka beberapa aplikasi. Beberapa usaha yang ia selama ini jalani juga. Mencari informasi dari linimasa. Tak ada, seperti biasa. Kali ini pun ia ikut kesal.
Sambil melihat apa-apa yang sudah terjadi di
belakang dan penyesalan tiada pernah usai, ia mengusap layar telepon pintarnya
mencari sebuah alamat nomor telepon yang menjadi penghindarnya namun kini ia
cari dengan berdebar-debar sekaligus perasaan. Di pilihnya ikon telepon warna
hijau dan inilah babak dirinya.
Tut... tut... tut...
"Hall lo...? Apa kabar?" Dengan begitu lembutnya.
"Iya ini siapa ya?" Jawaban di sana
terheran-heran.
Ia, langsung mematikan.
Si pebohong itu langsung memutus hubungan seluler. Ia
pesimis, paling sensitif juga dan penakut juga. Ia malu pada dirinya sendiri,
ia menilai seperti tigkahnya itu sudah salah. Kesalahan yang membuatnya malu
yang membuatnya seperti memakan hinanya sendiri. Dan yang menjadi titiknya
rasanya adalah... ternyata ia menghapus sejumput bagian dari dirinya. Itu yang
menjadi sakitnya. Sungguhkah engkau melupakan kini?
"Tunggu... bukankah aku yang pernah meminta untuk di
lupakan? Namun bukankah juga aku tak pernah meminta untuk di tinggalkan? Inikah
rasanya air bejakan potongan pare?"
Satu hari penuh energinya habis hanya untuk memilih
menghubungi atau tidak. Berani atau tidak. Kirim atau urung. Ya, begitu sampai
ia enggan ibadah, engga melakukan apa-apa. Memikirkan terus apa yang harus ia
lakukan agar bisa bersalaman. Begitulah kiranya seseorang yang kehilangan
konsisten kesehariannya.
Namanya Sasy. Pilihannya hidup atau mati. Ia tak begitu suka duniawi. Katanya terlalu rumit untuk di ikuti, sebab katanya banyak yang ia tidak sukai di dalam ini. Ia hanya ingin hidup bedasarkan keinginannya sendiri, bukan yang super atas kehendaknya. Namun biasa saja. Asal ia selalu arif. Konsisten, rapih dan resmi. Ia tak suka coba-coba.
Ia senang kesempatan, tahu peluang dan tak begitu kecewa dengan penolakan. Walau berkali-kali ia tahu ia takkan gapai atau takan dapat. Ia hanya punya niat. Tapi ia tak mau kalah akan argumennya. Kita harus mengetahui ia gengsi. Ia, pejuang kebatinan. Ia tahu itu salah, namun bisakah kita memaklumkan apa yang menjadi kemauannya? Aku bisa, namun sebagian besar orang tak bisa menerimanya. Sebab konon Ia terlalu kaku, jutek, atau sombong. Aku tahu ia tak mungkin seperti itu.
(red/segapmedia.online)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Yuk tulis kesanmu setelah membaca tulisan di atas. Masukan, kritik, dan saran. Terima kasih. Salam literasi.