Oleh: Seto G. Pratomo
Direktur Utama SEGAPMedia Group
Ketika pengumuman penerimaan anggota media pada 2017 itu, saya sangat senang bisa bergabung dan belajar dunia kepenulisan dan jurnalisme. Saat itu pengumuman di kertas yang di tempel di mading atau majalah dinding pondok pesantren. Kakak kelas saya memberitahu bahwa ada nama saya di pengumuman itu dan mengucapkan selamat dan semangat berproses. Dari situ lah dunia kepenulisan dan jurnalisme saya di mulai. Tiada hari tanpa membaca dan menulis, karena memang itu didikan dari media pondok untuk para anggotanya. Menginformasikan dengan cepat dan tepat peristiwa yang ada, seperti para pejabat negara yang silih berganti datang ke pondok pesantren untuk silaturahim ke pengasuh dan pondok pesantren. Sampai pada saya turut merancang dan menulis buku yang berjudul “Nasionalisme Pemuda: Pemikiran-Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari” yang diterbitkan oleh Penerbit SEGAP Pustaka.
Berkaitan dengan Take Down atau pelarangan dan kebebasan Pers, saya teringat dengan peristiwa Presiden Gus Dur membubarkan Kementerian Komunikasi dan Informasi (KOMINFO) pada saat itu bernama Departemen Penerangan. Alasan pembubaran itu juga bukan tanpa alasan. Saat itu, Presiden Gus Dur membubarkan 2 kementerian (atau pada saat itu disebut Departemen) yakni Departemen Penerangan, dan Departemen Sosial. Yang mana kita ketahui, Presiden Gus Dur merupakan seorang jurnalis dan penulis, banyak tulisan beliau tersebar di berbagai media dan buku.
Pada Departemen Penerangan menjadi salah satu alat Orde Baru dalam mengatur informasi yang tersebar di masyarakat agar sesuai dengan kemauan pemerintah. Departemen ini juga yang melakukan pembredelan terhadap beberapa surat kabar yang dicap anti pemerintah atau merugikan pemerintah.
Dan untuk gantinya, Presiden Gus Dur membentuk Badan Informasi Komunikasi Nasional, dengan Kepala BIKN setara Eselon 1A. Namun pasca lengsernya Presiden Gus Dur dan digantikan Megawati, maka dibentuk Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi, tepatnya pada tahun 2001. Kementerian ini mengisi kekosongan Departemen Penerangan yang dibubarkan Presiden Gus Dur sebelumnya. Dengan seiring berjalannya waktu, Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi ini berubah nama menjadi Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) pada era periode pertama Presiden SBY, lalu diubah kembali pada 2009 menjadi Kementerian Komunikasi dan Informatika atau Kominfo.
Kasus tersebut kini kita rasakan dengan ramainya kebijakan-kebijakan Kominfo RI yang menuai banyak kritikan. Dengan hastag #blokirkominfo terkait pendaftaran PSE atau Penyelenggara Sistem Elektronik yang membuat heboh masyarakat. Niat baik pemerintah untuk menertibkan dunia digital namun salah langkah, apalagi ditambah blunder dengan kuncing-kucingan dengan situs judi online.
Dan mengenai take down yang merupakan bentuk dari pelarangan atau pemberedelan yang sering dialami oleh banyak media, seharusnya masyarakat tidak gegabah untuk meminta take down namun lebih tepatnya memberikan masukan untuk memperbaiki apa yang salah. Karena pada hakikatnya, kebebasan pers merupakan pilar keempat demokrasi yang dijamin dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers dan Hak Imunitas Wartawan yang memperbolehkan dan dijamin kemerdekaannya untuk menginformasikan.
Take down bukan lah solusi, karena jika salah satu media mentake down tentang sesuatu hal yang sudah diketahui publik karena memang kejadian terjadi di ranah publik bukan ranah private. Seharusnya memperbaiki narasi jauh lebih tepat untuk mengatur dan menggiring narasi yang berkeliaran pada media lainnya. Menajemen isu dan narasi ini lah yang perlu diperhatikan bukan membungkam. Toh kalau di SEGAPMedia secara terbuka dan transparan menerima kritikan, saran, dan masukan untuk memperbaiki apa yang salah untuk kemaslahatan bersama.
Baca Pers Release selengkapnya disini (click)
(red/segapmedia.online)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Yuk tulis kesanmu setelah membaca tulisan di atas. Masukan, kritik, dan saran. Terima kasih. Salam literasi.