SEGAPMedia .Online, Yogyakarta- Sambutan buku Memadukan Nilai Kehidupan oleh Prof. Noor Cholis Idham, ST., M. Arch., Ph.D., IAI (Guru Besar Arsistektur UII)
Memotivasi diri adalah pekerjaan yang jauh lebih sulit ketimbang memotivasi orang lain jika kita tidak mengenal diri kita sendiri. Pak Alif adalah sosok muda yang energik yang saya kenal dan tahu persis tentang dirinya. Meskipun buku ini bukanlah buku motivasi, catatan-catatan fragmen kehidupan yang diambil dari peristiwa kehidupan personal, karier dan prestasi, serta pandangan keagamaan dan kebangsaan menjadi menarik yang justru dapat menumbuhkan motivasi kepada orang lain.
Sudut pandang Pak Alif yang dibagikan kepada kita dalam buku ini, dalam banyak hal sangat tegas sehingga dapat memberikan sajian khas Pak Alif. Ada banyak hal menarik dalam buku ini, tapi izinkan saya menyampaikan beberapa hal yang mengundang jemari saya untuk berkomentar dalam paragraf berikut.
Sejak lulus Penataran Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila (P4) waktu masuk kuliah dulu tahun 90an, baru pertama kali ini saya membaca lagi tentang Pancasila dan anehnya tidak berubah. Sejak reformasi 1998, orang Indonesia memang semakin jarang berbicara tentang Pancasila karena kemudian diidentikkan dengan cara pemerintahan Orde Baru untuk melanggengkan hegemoninya. Kita paham bagaimana Soeharto menggunakannya agar fanatisme kanan (agamis) dan kiri (proletarian) tetap dapat dikendalikan.
Padahal, Soekarno pun juga menggunakan jurus yang sama di tengah kaum agamis dan sosialis (komunis) yang dia sebut sebagai NASAKOM. Kedua pendahulu presiden kita tersebut dapat dikatakan berhasil dalam “menggunakan” Pancasila untuk membuat negara stabil secara politik dalam waktu yang cukup panjang.
Ketuhanan, Kemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan, dan Sosialisme sejatinya adalah unsur Pancasila sebagai dasar negara yang generik yang sudah diakui jauh sejak sebelum negeri Indonesia ini berdiri. Kebebasan politik reformasi di sisi yang lain juga telah membangkitkan identitas keagamaan baru hingga separatisme yang berubah menjadi radikalisme. Di sini Pak Alif mencoba untuk menuangkan kembali Pancasila dalam bentuk yang lebih baru dengan kemasan yang lebih sesuai dengan zamannya. Barangkali ini adalah upaya terkini dari seorang dosen Pancasila untuk menyadarkan kembali bahwa kita ini tetap butuh Pancasila.
Pak Alif sangat bangga menjadi dosen dan itu luar biasa meskipun menurut saya bukanlah profesi impian…! Bagaimana tidak? Lagu Umar Bakri Bang Iwan Fals adalah lagu wajib saya saat SMA hingga lulus kuliah tahun 90-an. Bapak saya juga guru dengan penghasilan pas-pasan dengan cicilan motor yang tak pernah lunas-lunas. Bagi generasi saya, menjadi guru adalah keterpaksaan!
Saya memutuskan untuk tetap menjadi dosen karena tahun 97-98 kondisi perekonomian yang sulit memaksa niatan saya untuk terjun di dunia konsultasi arsitektur batal. Saya menemukan diri saya sebagai dosen di tengah banyak orang yang (juga) dulu tidak pernah punya cita-cita jadi dosen! Mungkin zaman sudah berganti. Mungkin cara pandang orang sudah mulai berubah.
Dan mungkin dosen dan guru sudah berada di tempat yang memang prestige! Yang jelas profesi ini mulia. Bagaimana tidak? Kita seringkali dianggap killer karena terlalu idealis sementara kita yang gampang saja memberikan nilai A sembarangan dianggap dosen favourite!
Bagaimanapun juga, toh saya tetap harus banyak bersyukur karena hidup saya dapat berguna bagi orang lain. Paling tidak saya sendiri yang merasakan itu. Namun nampaknya semua prejudice itu sepertinya tidak berlaku bagi pak Alif. Cara-cara baru yang lebih milenial nampaknya harus digunakan menghadapi generasi yang berbeda ini. Saya perlu belajar cara baru ini!
Sebenarnya masih banyak hal yang ingin saya komentari, namun saya khawatir akan terlalu panjang dan menjadi satu bab sendiri di buku Pak Alif yang sudah bagus ini. Topik-topik yang diangkat memang tidak jauh dari keseharian kita, namun sangat menarik untuk disimak. Selamat untuk Pak Alif yang selalu berusaha menjadi yang terbaik. Semoga semangat itu juga kita punyai untuk memajukan diri kita sendiri. Jika bukan kita sendiri lalu siapa lagi?
(red/segapmedia.online)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Yuk tulis kesanmu setelah membaca tulisan di atas. Masukan, kritik, dan saran. Terima kasih. Salam literasi.