Oleh: Dafiq Febriali Sahl*
Disunting dari buku La Pensante
Banyak pemikir memahami Der Gott ist tot atau “Tuhan telah mati” adalah bentuk filsafat dekonstruktif (post-modern) dari seorang Friedrich Nietzsche; sejatinya itu adalah aforisme yang punya banyak cara untuk ditafsirkan sehingga sangat menarik sebagai filsafat.
“Requeim Aeternam Deo!” atau “Semoga Tuhan beristirahat dalam kedamaian abadi” sebagai konsekuensi logis dari ungkapannya “Tuhan Sudah Mati, Kita telah membunuhnya”. Pembunuhan terhadap Tuhan itu diiringi juga dengan penguburan secara beramai-ramai yang dikonotasikan bahwa orang-orang telah membunuh Tuhan (Sunardi, 2006; Meliana, 2013).
Dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, filsafat Nietzsche bersemayam di ruang relevansinya sendiri terutama tentang etika bernegara dan ilmu kekuasaan yang dikenal sebagai will to power dan will to live. Sebagian orang dengan pemikiran dangkal (terlalu dini menilai) menganggap bahwa aforisme itulah manifestasi dari ateisme seorang Nietzsche; secara axiologis, tidak sebenarnya.
Kita tidak bisa menjustifikasi Nietzsche adalah seorang a theos (ketiadaan Tuhan) jika kita belum memahami siapa Tuhan yang dimaksud Nietzsche telah dibunuh itu?. Dalam filsafat, filiabilisme melekat dalam diri manusia; kita harus memahami pemikiran manusia, hukum, dan nilai berdasarkan zaman atau genealoginya juga agar tidak ada kesalahan dalam bernalar (falacies).
Zaman dimana Nietzsche lahir di Eropa memiliki nuansa dimana profestisme, kerk, dan kesakralan yang sedikit banyak pupus dalam kehidupan manusia secara individu maupun kehidupan komunal. Masyarakat pada zamannya atau sesudahnya dinilai telah kehilangan nilai-nilai Ketuhanan dalam dasar esensi kehidupan mereka apalagi pada tataran praksisnya walaupun mereka juga beragama.
Masyarakat Eropa dimana Nietzsche hidup yang sebelumnya memiliki kesakralan dalam kehidupannya untuk membedakan antara kebaikan dan keburukan telah runtuh rata; mereka tidak mencari dan memaknai nilai-nilai Ketuhanan sebagai dasar esensi kehidupan mereka. Dahulunya Eropa pada Abad Pertengahan sangat religius, namun setelah Renaissance maka terjadi perubahan total dalam kehidupan religi masyarakat yang cenderung sekuler.
Dalam pandangan Nietzsche, bangsa Eropa yang mengaku menjunjung tinggi nilai moral sekaligus juga merupakan pihak yang mengkhianati nilai moral dan humanisme itu sendiri. Lalu apa yang menjadi dasar esensinya?, seorang Nietzsche menatap modernitas sebagai akselerasi dekadensi dimana tipe-tipe tertinggi dilevelkan oleh liberalisme, demokrasi, dan rasionalisme; dimana insting mengalam kemerosotan tajam (Best dan Kellner, 1991; Munir, 2011).
Menurut Levina (2002) dalam Meliana (2013), Tuhan yang dimaksud dalam der gott ist tot tidaklah Tuhan dalam pemahaman spiritual, transedental, dan absolut, melainkan Tuhan yang menjebloskan manusia pada dehumanitas (penghilangan moralitas) seperti halnya Tuhan-Tuhan pagan yang dikurung dalam kotak-kotak dikomotis Peristiwa itulah yang kemudian Nietzsche sebut sebagai “Kematian Tuhan”.
The Gay Science paragraf 125, der gott ist tot digambarkan sebagai orang gila yang berlari di tengah pasar dengan membawa lentera di tangannya. Orang gila itu berseru “Aku mencari Tuhan, aku mencari Tuhan!” “Kitalah yang telah membunuh Tuhan teriaknya (Nietzsche, 2001:119). Nietzsche tidak berbicara bahwa Tuhan adalah imajinasi yang artinya eksistensi Tuhan ada karena pikiran manusia (mengada-ada); pernyataan itu lebih dekat kepada aforisme “Cogito ergo sum” yang artinya “Aku berpikir maka aku ada” sebab maknanya adalah eksistensi (keadaan) diciptakan oleh pikiran manusia; eksistensi Tuhan ada sangat jauh melampaui dimensi pikiran manusia, hanyalah manusia yang baru mengistilahkannya sebagai “Tuhan”.
Benar kata Nietzsche bahwa manusia adalah pencipta dan Tuhan adalah Maha Pencipta; adanya makro dan mikro kosmos, ada hamba ada Tuhan, bahwa manusia adalah bagian-bagian kecil dari Tuhan, dan tidak benar bahwa Tuhan tidak ada.
Kedua, kata “Kita telah membunuhnya” mengartikan bahwa manusialah yang membunuhnya; lalu pertanyaannya adalah bagaimana itu terjadi?. Nietzsche memandang kehidupan masyarakat Eropa dan membuahkan konklusi bahwa kehidupan beragama saja tidak cukup untuk membebaskan seorang dari kesengsaraan, kemiskinan, dan kebodohan yang kemudian lahir istilah “kematian Tuhan” (Meliana, 2013).
Der gott ist tot itu sendiri tidak dapat dimaknai secara matter bahwa Tuhan telah mati (fisik) tetapi Nietzsche mengindikasikannya bahwa Tuhan tidak atau Ketuhanan lagi menjadi groundslag dan weltanschauung dari moralitas atau teologi masyarakat di sekitarnya.
Secara sederhana, manusia melalui pelepasan-pelapasan moral teologis merupakan suatu tindakan pembunuhan terhadap Tuhan atau Ketuhanan; makna tersebut berada pada tataran ide tetap (fixed idea). Berdasarkan Levine (2002), der gott ist tot tiada lain merupakan metode untuk mengungkapkan bahwa masyarakat tidak lagi bisa mempercayai tatanan kosmis karena masyarakat itu sendiri tidak lagi mengakuinya; terlebih lagi Nietzsche berpandangan bahwa “Kematian Tuhan” juga merupakan penolakan terhadap kepercayaan akan satu hukum moral yang objektif dan universal (mengikat semua individu).
Berbeda konteks dengan ateisme Barat seperti halnya Immanuel Kant, Sartre, Armstrong, Camus dimana membangun paradigma eksistensialis hanya pada rangka eksplorasi liberalis. Sekalipun Nietzsche tidak pernah menyangkal Tuhan dalam pengertiannya yang inheren-koheren (dalam Meliani, 2013:42).
Jika memang aforisme itu tidak memanifestasikan ateisme Nietzsche dan Tuhan yang dimaksud bukanlah Tuhan yang manusia sekarang kenal. Tapi sampai sekarang hal itu masih menjadi perdebatan di kalangan filsuf. Terlepas dari itu, filsafat lekat dengan manusia yang lekat dengan sifat filiabilisme (tidak sempurna); selalu ada sisi positif dan negatif dari setiap pemikiran.
Referensi
Best, Steven & Doglas Kellner. (1991). Postmodern Theory: Critical Interrogation. New York: The Guilford Press.
Hardiman, F. Budi. (2004). Filsafat Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Harianto, Budi dan Nurul Syalafiyah, (2019). Mengaruhi Dunia Filsafat Abad Modern: Tokoh dan Pemikirannya. Akademia Pustaka: Tulungagung.
Kaufmann, Walter. (1974). Nietzsche: Philosopher, Psychologist, Anti-Christ. Princeton: Princeton University Press.
Levine, Peter. (2002). Nietzsche Dan Krisis Manusia Modern. New York: Harper & Row Publisher.
Munir, Misnal. (2011). Pengaruh Filsafat Nietzsche terhadap Perkembangan Filsafat Barat Kontemporer. Jurnal Filsafat, 21(2), 134-146.
*Penulis buku La Pensante (2020)
Nietzsche, Friedrich Wilhelm. (1994). Also Sprach Zarathustra. Stuttgart: Philipp Reclam jun. GmbH & Co.
_____. (2001). The Gay Science (Terj. Bernard Williams). New York: Cambridge University Press.
_____. (2010). Thus Spake Zarathustra (Terj. Sudarmadji & Ahmad Santoso. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahman, Masykur Arif. (2013). Buku Pintar Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Ircisod.
Sunardi, St. (2006). Nietzsche. Yogyakarta: LKiS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Yuk tulis kesanmu setelah membaca tulisan di atas. Masukan, kritik, dan saran. Terima kasih. Salam literasi.