Uang Makan (Part 2) - SEGAP Media .Online | Students Media for Indonesia

Breaking


Jumat, 08 Oktober 2021

Uang Makan (Part 2)



Oleh: Ramli Lahaping*


Lebih lanjut, sang pemilik rumah kemudian menceritakan bahwa selepas pengantaran itu, ia dan sang tukang ojek telah terlibat percekcokan. Itu karena tiba-tiba saja, sang tukang ojek kehilangan dompet dan lekas menuduhnya sebagai pencuri. Ia sontak membantah dengan tegas, tetapi sang tukang ojek tetap meminta dompetnya dikembalikan demi membeli bahan makanan pokok yang mendesak.


Atas percekcokan yang tak berujung jelas itu, sang pemilik rumah pun menduga keras kalau sang tukang ojek masih meyakininya sebagai penilap. Karena itu, meski ia telah membantah keras, sang tukang ojek tetap kekeh menuduh, hingga nekat menggarong isi rumahnya demi mendapatkan uang pengganti untuk isi dompet yang telah hilang itu.


Akhirnya, menyaksikan kejadian tersebut, aku jadi semakin tak habis pikir atas bar-barnya perilaku orang-orang belakangan. Mereka menuduh, mencuri, menghajar, bahkan nyaris membunuh sesama manusia karena persoalan materi yang perkaranya belum terang. Mereka seolah tidak lagi menyadari bahwa harta benda masih bisa dicari, sedangkan nyawa tidak.


Kini, aku tak mengerti apakah salah satu di antara mereka adalah pencuri, atau malah keduanya. Tetapi aku menilai bahwa mereka telah melakukan kesalahan, sebab mereka memilih menyelesaikan perkara dengan kekerasan, bukan dengan jalan komunikasi atau jalur hukum. Bagaimanapun, tindakan semacam itu tidak dapat dibenarkan dengan alasan apa pun.


Sampai akhirnya, aku kembali melanjutkan perjalanan pulangku. Detik demi detik, aku pun membayang-bayangkan kesenjangan antara nasibku dengan nasib sang tukang ojek. Pasalnya, ia terpaksa menantang bahaya demi memperoleh uang untuk membeli makan pokok, sedangkan aku yang tanpa usaha apa-apa malah telah mendapatkan traktiran makanan yang mewah.


Seketika pula, aku terpikir bahwa Suman pasti bersedia membantu orang susah seperti sang tukang ojek yang rela mempertaruhkan nyawanya demi uang makan. Aku yakin bahwa dengan uang kiriman yang banyak dari adiknya, ia pasti tidak keberatan untuk bersedekah. Apalagi, belakangan, aku menyaksikan sendiri bahwa ia semakin ringan tangan, terutama kepadaku.


Beberapa waktu berselang, aku akhirnya tiba di rumahku. Aku pun berusaha meredakan kekalutanku dengan mengabaikan perkara pencurian itu. Aku lantas bergegas untuk mendapatkan nomor telepon sang janda demi membalas budi Suman. Tetapi karena malu dan sungkan, aku tidaklah memintanya nomor sang janda secara langsung.


Akhirnya, seperti yang telah kurencanakan, aku pun segera mencari keberadaan ponsel istriku kala ia tengah bertandang ke rumah tetangga. Tak butuh waktu lama, aku lantas mendapatkan ponsel itu di atas meja ruang keluarga, dan aku pun lekas mencari nama sang janda di daftar kontak. Dalam sejenak, aku pun menemukannya, kemudian segera mengirimkannya kepada Suman.


Sesaat berselang, ponselku pun berdering. Suman memanggil, dan aku segera menjawab.


“Terima kasih. Jasamu sangat berarti bagiku,” katanya, di ujung telepon, dengan nada suara yang menyiratkan kegembiraan.


“Sama-sama,” balasku, dengan perasaan senang, sembari berharap peranku itu akan membuat kesendiriannya segera berakhir. Lekas kemudian, aku pun melontarkan candaan, “Tetapi setelah ini, aku akan mendapatkan traktiran lagi, kan?”


Ia pun mendengkus dan terkekeh. “Sepertinya, tidak lagi. Aku butuh menabung untuk biaya pernikahanku kelak, sebagaimana saranmu.”


Sontak, aku tergelak. “Ya, baguslah kalau begitu. Tetapi setidaknya, setelah kau berhasil mendapatkan hatinya, bisalah kiranya kau menyisihkan sedikit dari uang kiriman adikmu untuk sepiring makananku.”


Ia balas tergelak keras. “Tetapi kukira, mentraktirmu besok-besok, sudah menjadi hal yang sulit bagiku. Apalagi, adikku tidak akan lagi menjatuhkan dompetnya di tengah jalan.”


Seketika pula, aku terkejut dan penasaran pada arti ucapannya. “Maksudmu?”


Lagi-lagi, ia kembali tertawa, sampai benar-benar puas. “Jadi kau kira uang makan kita benar-banar kiriman dari adikku di kota?”


Aku sontak semakin curiga kalau-kalau ia telah menjailiku. “Jadi?” tanyaku, meminta penjelasan lebih detail.


Ia kemudian mencoba meredakan kegirangannya. Ia lantas mengembuskan satu napas yang panjang, dan menerangkan, “Sebenarnya, uang itu adalah isi sebuah dompet yang kudapatkan di tengah jalan, entah milik siapa.”


Emosiku pun melonjak. “Tega-teganya kau membelanjakan uang yang bukan milikmu!”


Tetapi ia malah kembali tertawa. “Itu kan sudah menjadi harta tidak bertuan. Sayang juga kalau tidak dimanfaatkan.”


Atas responsnya, aku pun jadi semakin jengkel. “Kau berhati-hatilah. Bisa jadi, pemiliknya melapor ke polisi, lalu kau akan ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara,” ancamku, agar ia takut dan menyesali perbuatannya.


Namun tawanya malah semakin terbahak-bahak. “Santai saja. Kalau kau tak bilang pada siapa-siapa, tak akan ada yang tahu. Lagi pula, kalau ketahuan, kau juga akan terseret sebagai orang yang turut menikmati.”


Dengan penuh amarah, aku pun menutup telepon. Aku sungguh geram atas sikapnya yang telah mengorbankan dan mencelakakan orang lain untuk perihal yang ia anggap sebagai candaan. Aku sungguh meyakini bahwa keisengannya itu telah membuat seorang tukang ojek kelimpungan mencari dompetnya demi membeli bahan makanan pokok, hingga ia menuduh dan menggarong rumah seorang penumpannya, sampai ia kedapatan dan nyaris meregang nyawa.


Saat kemudian, aku pun masuk ke dalam kamar dengan kekesalan yang masih memuncak. Aku lantas berbaring di atas kasur dan berupaya menenangkan perasaanku.


Hingga akhirnya, aku mendengar suara perbincangan yang keras dari rumah Karim, sang kepala desa, yang berada tepat di samping rumahku.


“Kurang ajar si Suman. Berani-beraninya ia mengirimkan pesan-pesan berisi rayuan panas seperti ini kepadamu,” kesal sang pemilik suara serak, yang kutaksir jelas sebagai Karim.


“Iya, Pak. Aku juga jijik membacanya,” tanggap sang pemilik suara lembut, yang kutaksir jelas sebagai istrinya.


“Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus memberikan pelajaran kepadanya.”


Tak lama kemudian, aku pun melihat Karim keluar dari dalam rumahnya dengan wajah berang. Dalam sekejap, ia pun pergi dengan sepeda motornya, yang kuyakin untuk menemui Suman.


Sesaat kemudian, aku lantas memikir-mikirkan persinggungan di antara mereka. Sejenak berselang, aku pun meyakini bahwa aku telah mengirimkan nomor yang salah kepada Suman. Pasalnya, aku baru menyadari bahwa nama asli istri Karim dan sang janda adalah sama.


Tetapi permasalahan itu, sama sekali tak menggugah rasa penyesalan dan kekhawatirku. Sebaliknya, dengan begitu saja, aku merasa telah berhasil membalas kekesalanku atas kejailan Suman.


Akhirnya, aku pun tertawa sepuas-puasnya.***

*Penulis lahir di Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Aktif menulis blog (sarubanglahaping.blogspot.com). Telah menerbitkan cerpen di sejumlah media daring. Bisa dihubungi melalui Instagram (@ramlilahaping).


(red/segapmedia.online)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Yuk tulis kesanmu setelah membaca tulisan di atas. Masukan, kritik, dan saran. Terima kasih. Salam literasi.