Oleh: Ramli Lahaping*
Lebih lanjut, sang pemilik rumah kemudian menceritakan bahwa selepas pengantaran itu, ia dan sang tukang ojek telah terlibat percekcokan. Itu karena tiba-tiba saja, sang tukang ojek kehilangan dompet dan lekas menuduhnya sebagai pencuri. Ia sontak membantah dengan tegas, tetapi sang tukang ojek tetap meminta dompetnya dikembalikan demi membeli bahan makanan pokok yang mendesak.
Atas
percekcokan yang tak berujung jelas itu, sang pemilik rumah pun menduga keras kalau
sang tukang ojek masih meyakininya sebagai penilap. Karena itu, meski ia telah membantah
keras, sang tukang ojek tetap kekeh menuduh, hingga nekat menggarong isi rumahnya
demi mendapatkan uang pengganti untuk isi dompet yang telah hilang itu.
Akhirnya,
menyaksikan kejadian tersebut, aku jadi semakin tak habis pikir atas bar-barnya
perilaku orang-orang belakangan. Mereka menuduh, mencuri, menghajar, bahkan
nyaris membunuh sesama manusia karena persoalan materi yang perkaranya belum
terang. Mereka seolah tidak lagi menyadari bahwa harta benda masih bisa dicari,
sedangkan nyawa tidak.
Kini,
aku tak mengerti apakah salah satu di antara mereka adalah pencuri, atau malah
keduanya. Tetapi aku menilai bahwa mereka telah melakukan kesalahan, sebab mereka
memilih menyelesaikan perkara dengan kekerasan, bukan dengan jalan komunikasi atau
jalur hukum. Bagaimanapun, tindakan semacam itu tidak dapat dibenarkan dengan
alasan apa pun.
Sampai
akhirnya, aku kembali melanjutkan perjalanan pulangku. Detik demi detik, aku
pun membayang-bayangkan kesenjangan antara nasibku dengan nasib sang tukang
ojek. Pasalnya, ia terpaksa menantang bahaya demi memperoleh uang untuk membeli
makan pokok, sedangkan aku yang tanpa usaha apa-apa malah telah mendapatkan
traktiran makanan yang mewah.
Seketika
pula, aku terpikir bahwa Suman pasti bersedia membantu orang susah seperti sang
tukang ojek yang rela mempertaruhkan nyawanya demi uang makan. Aku yakin bahwa
dengan uang kiriman yang banyak dari adiknya, ia pasti tidak keberatan untuk
bersedekah. Apalagi, belakangan, aku menyaksikan sendiri bahwa ia semakin
ringan tangan, terutama kepadaku.
Beberapa
waktu berselang, aku akhirnya tiba di rumahku. Aku pun berusaha meredakan
kekalutanku dengan mengabaikan perkara pencurian itu. Aku lantas bergegas untuk
mendapatkan nomor telepon sang janda demi membalas budi Suman. Tetapi karena
malu dan sungkan, aku tidaklah memintanya nomor sang janda secara langsung.
Akhirnya, seperti yang telah kurencanakan, aku pun segera mencari keberadaan ponsel istriku kala ia tengah bertandang ke rumah tetangga. Tak butuh waktu lama, aku lantas mendapatkan ponsel itu di atas meja ruang keluarga, dan aku pun lekas mencari nama sang janda di daftar kontak. Dalam sejenak, aku pun menemukannya, kemudian segera mengirimkannya kepada Suman.
Sesaat
berselang, ponselku pun berdering. Suman memanggil, dan aku segera menjawab.
“Terima
kasih. Jasamu sangat berarti bagiku,” katanya, di ujung telepon, dengan nada
suara yang menyiratkan kegembiraan.
“Sama-sama,”
balasku, dengan perasaan senang, sembari berharap peranku itu akan membuat
kesendiriannya segera berakhir. Lekas kemudian, aku pun melontarkan candaan, “Tetapi
setelah ini, aku akan mendapatkan traktiran lagi, kan?”
Ia
pun mendengkus dan terkekeh. “Sepertinya, tidak lagi. Aku butuh menabung untuk
biaya pernikahanku kelak, sebagaimana saranmu.”
Sontak,
aku tergelak. “Ya, baguslah kalau begitu. Tetapi setidaknya, setelah kau berhasil
mendapatkan hatinya, bisalah kiranya kau menyisihkan sedikit dari uang kiriman
adikmu untuk sepiring makananku.”
Ia
balas tergelak keras. “Tetapi kukira, mentraktirmu besok-besok, sudah menjadi
hal yang sulit bagiku. Apalagi, adikku tidak akan lagi menjatuhkan dompetnya di
tengah jalan.”
Seketika
pula, aku terkejut dan penasaran pada arti ucapannya. “Maksudmu?”
Lagi-lagi,
ia kembali tertawa, sampai benar-benar puas. “Jadi kau kira uang makan kita
benar-banar kiriman dari adikku di kota?”
Aku
sontak semakin curiga kalau-kalau ia telah menjailiku. “Jadi?” tanyaku, meminta
penjelasan lebih detail.
Ia
kemudian mencoba meredakan kegirangannya. Ia lantas mengembuskan satu napas
yang panjang, dan menerangkan, “Sebenarnya, uang itu adalah isi sebuah dompet
yang kudapatkan di tengah jalan, entah milik siapa.”
Emosiku
pun melonjak. “Tega-teganya kau membelanjakan uang yang bukan milikmu!”
Tetapi
ia malah kembali tertawa. “Itu kan sudah menjadi harta tidak bertuan. Sayang juga
kalau tidak dimanfaatkan.”
Atas
responsnya, aku pun jadi semakin jengkel. “Kau berhati-hatilah. Bisa jadi, pemiliknya
melapor ke polisi, lalu kau akan ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara,”
ancamku, agar ia takut dan menyesali perbuatannya.
Namun
tawanya malah semakin terbahak-bahak. “Santai saja. Kalau kau tak bilang pada
siapa-siapa, tak akan ada yang tahu. Lagi pula, kalau ketahuan, kau juga akan
terseret sebagai orang yang turut menikmati.”
Dengan
penuh amarah, aku pun menutup telepon. Aku sungguh geram atas sikapnya yang
telah mengorbankan dan mencelakakan orang lain untuk perihal yang ia anggap sebagai
candaan. Aku sungguh meyakini bahwa keisengannya itu telah membuat seorang
tukang ojek kelimpungan mencari dompetnya demi membeli bahan makanan pokok,
hingga ia menuduh dan menggarong rumah seorang penumpannya, sampai ia kedapatan
dan nyaris meregang nyawa.
Saat
kemudian, aku pun masuk ke dalam kamar dengan kekesalan yang masih memuncak.
Aku lantas berbaring di atas kasur dan berupaya menenangkan perasaanku.
Hingga
akhirnya, aku mendengar suara perbincangan yang keras dari rumah Karim, sang kepala
desa, yang berada tepat di samping rumahku.
“Kurang
ajar si Suman. Berani-beraninya ia mengirimkan pesan-pesan berisi rayuan panas
seperti ini kepadamu,” kesal sang pemilik suara serak, yang kutaksir jelas
sebagai Karim.
“Iya,
Pak. Aku juga jijik membacanya,” tanggap sang pemilik suara lembut, yang kutaksir
jelas sebagai istrinya.
“Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus memberikan pelajaran kepadanya.”
Tak
lama kemudian, aku pun melihat Karim keluar dari dalam rumahnya dengan wajah berang.
Dalam sekejap, ia pun pergi dengan sepeda motornya, yang kuyakin untuk menemui
Suman.
Sesaat
kemudian, aku lantas memikir-mikirkan persinggungan di antara mereka. Sejenak
berselang, aku pun meyakini bahwa aku telah mengirimkan nomor yang salah kepada
Suman. Pasalnya, aku baru menyadari bahwa nama asli istri Karim dan sang janda
adalah sama.
Tetapi
permasalahan itu, sama sekali tak menggugah rasa penyesalan dan kekhawatirku.
Sebaliknya, dengan begitu saja, aku merasa telah berhasil membalas kekesalanku
atas kejailan Suman.
*Penulis lahir di Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Aktif menulis blog (sarubanglahaping.blogspot.com). Telah menerbitkan cerpen di sejumlah media daring. Bisa dihubungi melalui Instagram (@ramlilahaping).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Yuk tulis kesanmu setelah membaca tulisan di atas. Masukan, kritik, dan saran. Terima kasih. Salam literasi.