Oleh: Syahnanda Annisa
Mahasiswi Rekayasa Tekstil UII, Yogyakarta
Sayang seperti kata sayang yang hanya sesaat yang mendebarkan yang menghiasi bunga di tepian sela hari-hari yang hangat. Pada pagi itu ia tak mendapati rasa hangat, hanya hangat suhu. Ia merasa beku, hampa, dan tentunya ingin mengulang dan menghindari kebodohan. Ia bodoh, ia tak memiliki siapa pun, ia kaya, ia segalanya, namun masih banyak yang kosong dan tak terpakai disana, tak pasti siapa yang di sana.
Adakalanya ia memang jahat, membiarkan yang ada pergi, dan yang pergi ia ingin tarik kembali. Sungguh skeptis Si Putri ini. Tapi ia hanya bekas Putri Tidur yang kini sudah bangun. Ia bangun, bangun dari kebodohan dan kesempitan. Putri yang kini ingin hidup seperti orang yang lebih pantas mengeluh, ia ingin lebih hidup.
Ia cemburu pada
manusia yang sudah berusia tua namun semangat juang hidup lebih tegar dari pada
dirinya yang masih muda an kekar. Ia malu, sungguh ia tak pantas untuk
mengeluh. Ia malu pada yang lebih susah namun lebih bergairah. Ia malu pada
yang lebih berusaha, ia malu pada yang lebih arif. Ia malu, hidupnya berputar
pada malu. Ia malu pada kebodohannya sendiri. Itu. Malu. Sungguh malu.
"Bisakah aku menarik semua yang pernah menjadi
milikku?"
Oh... tidak putri, semua telah berganti, kini semua biarlah
berganti. Biarlah pergi dan menjadi nilai pada dirimu sendiri. Pada waktu yang
tak menentu kau pasti tahu. Ada satu di sisimu. Tapi kau belum tahu itu. Kau
harus tahu. Kau pasti di cintai. Suatu hari nanti. Sabarlah. Tak perlu malu.
Ada penjagamu di situ. Kau bebas bersandar sampai kau tak sadar bahwa kau
sedang di dekap malaikat.
Pada siang itu Sasy dengan tergesa menulis di sebuah kertas
krem bergaris besar. Ia gusar, ia gelisah dan harus cepat menyelesaikan.
"Hai!
Apa kabar?
Sudah lama ya kita berputus hubungan seperti ini. Aku sudah lama tak berbicara dengan siapa pun. Aku tinggal di dalam rimba yang terdapat raja hutan yang jahat. Kau paham kan? Aku seperti orang yang selalu di hantui dan perasaan menyesal selalu mengikuti. Aku ribut dengan diriku sendiri, saking ributnya aku lupa dengan engkau, dengan siapa pun yang ada dalam hidupku.
Kini kasihan sekali aku ini. Kini satu persatu mulai ku rindu, namun semua seiring waktu tak seperti dulu, sekarang sudah pada dirinya sendiri. Sudah sibuk menata semuanya sendiri. Aku payah. Payah sekali. Tak pandai dan tak cakap apalagi cerdik. Aku di beri anugerah, namun aku merasa lebih gerah. Aku gerah tak tahan pada semua. Aku butuh tenang. Ya tenang, jika ada engkau.
Sekiranya engkau pasti tahu, atau kaget atau bahkan tak sudi. Tapi ini adalah dari kejujuran ku ini. Aku butuh engkau sebagai penyabar. Aku butuh engkau yang butuh aku. Aku butuh engkau yang siap menjadi penghibur. Tapi semua telah fana. Kau sudah bersamanya. Layakkah aku datang begitu saja? Tidak. Seperti pencuri, datang tiba-tiba tanpa di ketahui. Tak senonoh seperti para pencuri yang seenaknya mengambil harta yang menjadi korban.
Sungguh tak pantaskan aku. Kini engkau
kiranya boleh menertawakan aku dengan terbahak-bahak. Tapi roda berputar. Bumi
tak lagi berpihak padaku. Maafkan aku sudah merindukanmu. Izinkan aku
merindukanmu di malam-malam bahagiamu bersama kekasihmu. Walau ku tahu seperti
pengganggu yang mengintaimu. Maafkan aku. Selamat atas kebahagiaanmu. Aku
menunggumu di tiap-tiap air mataku."
Andalas
Ia akhirnya mengetahui bahwa sang yang ia tunggui akan melanjutkan studi di Jawa. Seberapakah indahnya Jawa? Akankah ia kan ingin juga kesana? Rupanya tidak. Ia takkan kemana. Ia tetap berada di dalam jiwanya.
Ia
ingin pergi. Ia kan menanti apa yang menjadi miliknya dan belajar apa yang
menjadi miliknya selalu. Ia kan pergi, untuk perjuangannya. Perjuangan menjadi
dirinya. Dirinya yang takkan lupa lagi. Dirinya yang lebih arif, ia ingin
mencoba. Semoga. Terlaksana.
-End-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Yuk tulis kesanmu setelah membaca tulisan di atas. Masukan, kritik, dan saran. Terima kasih. Salam literasi.