Oleh: M. Fahmi Saiyfuddin Adzomat Khan Al-Husaini
Bulan Rabiul Awal, salah satu bulan Hijriyyah yang tentu tidak asing terdengar bagi kalangan umat muslim negeri ini. Tepat tanggal 12 Rabiul Awal tahun Gajah (’Amm Fiil), tepatnya 53 tahun sebelum penanggalan Hijriyah dimulai atau bertepatan dengan 570 Masehi, lahir sosok manusia pilihan, yakni Nabi Muhammad SAW.
Tahun kelahiran Nabi disebut tahun Gajah karena bertepatan dengan peristiwa penyerangan Gubernur dari kekaisaran Bizantium di Syiria, bernama Abrahah yang menggunakan pasukan Gajah untuk menyerang Mekah. Peristiwa tersebut diabadikan Allah pada Al-Qur’an dalam surat Al-Fiil (Gajah), surat yang mengisahkan kegagalan pasukan Abrahah dalam melakukan agresi, karena diluluh-lantahkan oleh serangan burung Ababil yang menghujani mereka dengan batu panas.
Meski tidak pernah disyariatkan secara khusus oleh Nabi untuk merayakan hari kelahirannya (red: Maulid/Mulud), namun tradisi perayaan Maulid Nabi adalah bagian budaya yang tidak terpisakan di seluruh dunia. Khususnya bagi ummat islam Indonesia, perayaan peringatan Maulid Nabi menjadi sebuah seremonial sakral tahunan yang seolah-olah menjadi tradisi wajib bagi setiap desa untuk terus melanggengkannya. Tak jarang, sebelum pengajian akbar dilaksanakan, terlebih dahulu dilangsungkan berbagai perlombaan serta perayaan festival guna meneladani spirit perjuangan Sang Nabi dalam berdakwah meneggakan kalimat yang Hak (benar) guna menyelamatkan manusia dari kedzoliman serta kemungkaran sampai akhir zaman.
Salah satu syair terkenal dan populer yang sering dilantunkan dalam setiap perayaan Maulid Nabi ialah Syair Maulid Al-Barzanji. Keindahan diksi prosa dan puitis mengenai sejarah kehidupan Nabi sangat terasa ketika dibacakannya syair Al-Barzanji, serta bait-bait dalam pembacaan Al-Barzanji membuat seakan-akan seperti terlibat langsung dalam penggalan hidup Sang Nabi untuk merealisakan Rahmatan lil ‘Alamiin.
Syair Maulid Al-Barzanji, Penyulut Kobaran Perlawanan (Non-senjata)
Jarang diketahui, bahwa syair yang menceritakan histori kehidupan Nabi ini tercipta sebab terjadinya kemelut agresi besar-besaran yang dilakukan oleh tentara the Crusader dari daratan Eropa. Ekspansi besar-besaran tentara the Crusader pada tahun 1099 M telah berhasil menguasai Yerusalem (Palestina) dan hal tersebut menjadikan umat Islam terpecah-belah secara politis, sehingga terjadi polarisasi kerajaan atapun kesultanan, hingga hilangnya semangat persaudaraan.
Kemudian pada tahun 1174 M, munculah Sultan Salahudin Al-Ayyubi yang memerintah di pusat kota Kairo, Mesir. Salahudin Al-Ayyubi inilah yang tampil memimpin perlawanan yang dikenal dengan sebutan Perang Salib. Melihat kondisi umat islam kala itu yang terhimpit, serta apatis akan terciptanya sebuah kemenangan, maka Sultan Salahudin mencari cara atau solusi alternatif untuk mampu membangkitkan ghirah (semangat) perjuangan umat islam untuk konsisten istiqomah dalam perjuangan. Kemudian diadakanlah suatu sanyembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian dengan bahasa serta sajak yang seindah mungkin. Dimengankanlah sanyembara tersebut oleh ‘Ulama terkemuka yang juga merupakan masih dzuriyyat (keturunan) Nabi Muhammad SAW, yakni Syaikh Ja`far bin Husain bin Abdul Karim bin Muhammad Al-Barzanji, dengan karya syair berjudul ‘Iqd Al-Jawhar fi Mawlid An-Nabiyyil Azhar (untaian kalung permata untuk kelahiran Nabi ternama) atau lebih dikenal dengan kitab Maulid Al-Barzanji.
Cara ini ternyat berhasil membangkitkan semangat juang umat Islam dengan cara membangun kecintaan mereka kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian Sultan Salahuddin menginstruksikan agar setiap tahun umat Islam di seluruh dunia merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW secara massal. Itulah awal mula tradisi peringatan Maulid Nabi. Kemudian pada musim haji tahun 579 H (1183 M) Sultan Salahuddin menginstruksikan agar sekembalinya dari Makkah, para jamaah haji mensosialisasikan hari peringatan Maulid Nabi di daerahnya asalnya masing-masing melalui berbagai kegiatan yang meriah. Tujuannya jelas membangkitkan solidaritas dan semangat perlawanan (non-senjata) umat Islam.
Sejarah, pembacaan kitab Al-Barzanji dalam peringatan-peringatan Maulid Nabi yang digalakkan oleh Sultan Salahuddin berhasil membangkitkan kesadaran umat Islam melawan tentara Crusader. Ini adalah bentuk kongkret model perlawanan tanpa senjata umat Islam. Tercatat, tahun 1187M, Sultan Salahuddin berhasil menghimpun kembali kekuatan umat Islam. Yerusalem direbut kembali dari kekuasaan Crusades. Masjidil Aqsa dikembalikan lagi fungsinya sebagai masjid.
Euforia Al-Barzanji Masa Kini
Kini, telah marak seremonial peringatan Maulid Nabi baik rutinitas tahunan setiap bulan rabiul awal, maupun sekedar pembacaan rutin perkumpulan pengajian. Al-Barzanji menjadi syair penuh prosa serta diksi mengisahkan untaian keindahan riwayat histori dakwah sang Nabi. Begitupun agresi tentara the Crusader sebagai penyebab terciptanya Al-Barzanji telah berkahir. Diqiyaskan juga pada konteks Indonesia, penjajahan kolonialisme telah lenyap di Bumi Pertiwi. Sehingga kini, umat muslim dapat berceria hati melantunkan Al-Barzanji kapanpun dan dimanapun.
Keadaan kini jusrtu menjadi berbanding terbalik dengan penyebab lahrinya Al-Barzanji. Umat Islam kini lupa, bahwa sejarah Al-Barzanji adalah sebuah bentuk perlawanan terhadap ketidak adilan serta penindasan, dengan membangun solidaritas semangat perlawanan umat Islam melawan penindasan. Kini penjajahan telah mapan dalam bentuk yang berbeda (neo-imprealisme), contoh kongkret penjajahan dalam umat islam masa kini ialah, melihat para petani yang terhimpit hidupnya, buruh dan buruh tani yang dihisap tenaganya, seolah-olah menjadikan syair Al-Barzanji hanya sebatas lantuan kidung (red. Jawa) dalam bahasa Arab dan menghilangkan histori perlawan untuk membebaskan umat.
Tidak sedikit, mereka yang istiqomah melanggengkan Al-Barzanji, jusrtu malah terjebak dalam jurang kesulitan hidup. Tentu hal ini akan sulit disadari dan dideketsi, karena bentuk penjajahan yang kian hari semakin terkesan pro-rakyat, namun faktanya masih meninggalkan ketimpangan sosial pada umat. Lebih lagi dengan maraknya pembukaan Investasi global, yang tentu berimplikasi pada umat islam yang semakin diombang-ambingkan.
Hal tersebut menjadi pemandangan yang kontras, karena untuk pelaksanaan sebuah seremonial maulid Nabi yang maha dahsyat dan penuh gembira, menyisahlan luka bagi kaum papa umat islam yang masih kesulitan memenuhi kebutuhan primer dan sekuder, atau biasanya disebut Sandang, Pangan, Papan(Pakaian, Makanan, Tempat Tinggal). Karena umat terjebak pada sosok figur Muhammad, namun melupakan Nilai dari sang Nabi. Dalam (Engineer, 1987:2) mengatakan bahwa “Islam yang dibawa oleh Nabi, bukan sekedar Agama Formal, Melaikan sebuah trobosan tranformasi sosial”
Meneladani Dakwah Sang Nabi Melalui Al-Barzanji
Umat islam kini hanya terjebak dalam euforia lantuan puitis karya Syaikh Ja’far Al-Barzanji, namun tidak menelisik serta merepresentasikan hikmah dibalik terciptanya syair puitis pembangkit semangat perlawanan tersebut. Maka jangan heran jika apa yang telah disabdakan Nabi “….Bahkan jumlah kalian(umat muslim) banyak, namun kalian hanya seperti buih dilautan…”(HR Abu Dawud 3745) menandakan umat menang secara kuantitas, namun tidak memiliki solidaritas serta membangun kesadaran untuk melawan sebuah ketidakadilan.
Semangat Al-Barzaji yang diprakasari Sultah Salahudin, memantiq kesadaran umat islam untuk bersatu dan membangun bersolidaritas, sehingga dapat tegaknya sebuah kehidupan yang berkeadilan bagi seluruh alam.
Oleh karena itu, seyogyanya pagelaran semarak panggung sholawat juga harus diintegrasikan dengan ghirah semangat Nabi dalam merealisasikan Rahmatan lil ‘Alamiin. Menelisk lebih dalam keresahan serta problem umat secara mendasar, kemudian bangun kesadaran politik serta ukhuwah atau solidaritas, sebagai bentuk aktualisasi dari histori lahirnya syair Syaikh Ja’far Al-Barzanji.
(red/segapmedia.online)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Yuk tulis kesanmu setelah membaca tulisan di atas. Masukan, kritik, dan saran. Terima kasih. Salam literasi.