Pendidikan Naik Kuda Catur - SEGAP Media .Online | Students Media for Indonesia

Breaking


Kamis, 31 Oktober 2019

Pendidikan Naik Kuda Catur


Oleh: Fahmi Saiyfuddin Al-Husaini*
Aktivis/Pegiat RPDH Jombang

Pendidikan, untuk saat ini pendidikan menjadi salah satu hal wajib yang harus ditempuh oleh seluruh warga Republik Indonesia. Pemerintah pun tak luput dengan membuat suatu program dengan “Wajib Pendidikan 12 Tahun” yakni biasanya peserta didik menempuh dari mulai jenjang SD, SLTP, kemudian SLTA. 

Di beberapa kota seperti DKI Jakarta contohnya, telah lama menerbitkan Kartu Pintar sebagai program untuk mendapatkan bantuan kepada warga yang kurang mampu secara ekonomi untuk membiayai pendidikan anak-anaknya, demi keberlangsungan pendidikan yang merata bagi seluruh anak yang lahir di Tanah Air ini.

Negara yang maju sudah tentu ditopang dengan sebuah pendidikan yang maju. Pendidikan yang maju juga semestinya harus ditopang dengan sebuah sistem yang tak kalah maju pula, dilain itu juga harus didukung dengan sarana-sarana serta fasilitas yang memadai tentunya, juga tenaga pengajar yang kompeten untuk dapat menghasilkan hasil yang baik, yakni sebuah ilmu pengetahun yang berguna untuk bangsa dan negara, dan mampu menghadapi persaingan dunia global, sehingga pendidikan mampu menjadikan negeri ini bangkit dari keterpurukan atau bangkit dari tidur panjang sang Macam Asia untuk meraung lebih keras lagi.

Transmorfasi demi transformasi tentu saja terus dilakukan oleh pemerintah untuk dapat mewujudkan Indonesia menjadi negara maju, terutama dalam sektor pendidikan yang akan berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan generasi bangsa kedepannya, karena bagaimana keadaan sepuluh bahkan limupuluh tahun kepadan, ditentukan atau berada dipundak generasi pemuda masa kini, baik dari kalangan terpelajar khususnya.

Lantas, bagaimanakah pendidikan yang maju itu ? Setidaknya saya ingin mengutarakan tiga hal yang selalu mengganggu pemikiran saya saat duduk di bangku SMA perihal Pendidikan di Negri ini, yang menurut saya butuh sebuah transformasi alternatife  guna menghasilkan pendidikan yang maju.

Kurikulum
Istilah kurikulum, pada awalnya digunalkan dalam dunia olahraga, berasal dari bahasa yunani yaitu kata curir (pelari) dan curere (tempat berpacu). Pada saat itu kurikulum diartikan sebagai jarak yang ditempuh oleh seorang pelari dari mulai start sampai finish untuk memperoleh penghargaan atau mendali. Pengertian kurikulum yang paling sering digunakan di negara Indonesia, yakni kurikulum merupakan suatu rencana tertulis yang disusun guna memperlancar proses pembelajaran pada suatu lembaga sekolah.

Adapun rumusan pengertian kurikulum dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengetahuan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Nah,, saat ini kita mengenal K13 (kurikulum 2013) sebagai acuan pendidikan yang diterapkan, yakni sebuah kurikulum yang menjadikan guru hanya sebagai seorang fasilitator, dan murid bebas mengembangkan sebuah ilmu layaknya anak kuliah. Ada satu hal yang pernah saya tanyakan kepada beberapa guru mengenai sebuah kurikulum ini pada masa saya SMA, dan tentu dengan tanggapan yang berbeda pula.

Simpelnya sepertinya percakapannya:
Saya : Ibu/Bapak Guru mengajar apa dikelas ini?
Guru : Saya mengajar Matematika.
Saya : Bisakah Ibu/Bapak Guru mengajar IPS?
Guru : Oh tentu saya tidak bias, karena saya hanya mampu menguasai 1 mata pelajaran saja.
Saya : Lantas kenapa semua Guru memaksa kami para murid untuk mampu menguasai semua mata pelajaran, sedangkan para guru sendiri hanya mampu menguasai 1 mata pelajaran?

Seperti itulah kiranya pertanyaan yang biasa saya lontarkan pada setiap guru pada masa SMA, yang sudah tentu saya mesti menanggung resiko dimusuhi, dikeluarkan kelas, namun ada juga guru yang mendukung pemikiran ini.

Juga pernah ada satu perkataan yang disampaikan salah seorang teman mengenai tanggapan akan cerita tersebut, seperti ini kata-katanya “6 tahun SD belajar Bahasa Inggris, 3 tahun SMP belajar Bahasa Inggris, dan 3 Tahun SMA belajar Juga Belajar Bahasa Inggris, namun pas lulus tidak mampu beribicara bahasa Inggris” ini baru 1 mata pelajaran belum terjadi kepada mata pelajaran yang lainya. 

Entah ini salah siapa? guru yang kurang kompeten, atau murid yang sudah terlalu mabuk karena diberi banyak mata pelajaran yang semua menuntut untuk dikuasai, sehingga bagi murid yang seperti ini, aktivitas bersekolah merupakan sebuah formalitas rutin saja, hafalan hanya sebagai syarat sebuah nilai, tradisi menyontek karena fakta lebih mnyukai mereka yang bernilai bagus dibanding mereka yang jujur,  guru yang kurang kompeten dan banyak permasalahn lainnya.

Merujuk pada suatu dasar sykologi, bahwa setiap anak yang lahir memiliki Minat atau Bakat tersendiri yang jika salah satu dari keduanya diasah secara tekun, maka akan menjadikan mereka tenaga ahli pada bidangnya, dan merasa senang karena belajar didasarkan pada kecintaan terhadap ilmu yang berawal dari minat atau bakat. Analogy mudah, ketika seorang murid sudah menyukai satu mata pelajaran, sesulit apapun pasti akan ditempuh dan dihafalnya, sehingga menciptakan kesemangatan tersendiri yang tidak dimiliki oleh teman yang tidak begitu menyukai mata pelajaran yang disukai oleh murid tersebut. Karena didasari oleh rasa suka terhadap bakat atau minat anak dalam belajar, sehingga menimbulkan kecintaan pada sebuah pelajaran, menjadikan para siswa-siswi semangat berpacu dalam pacuan kurikulum dan pasti mampu sampai pada hasil yang sempurna karena ditekuni berdasarkan bakat atau minatnya masing-masing. Ini yang terjadi di negara Finlandia yang menerapkan kecintaan membaca pada warganya sejak dini, dan menjadikan Finlandia sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik.

•Tambahan
Fakta yang ada hampir seluruh pendidikan kita hari ini membuat doktrin kuat seperti ini “berpacu pada nilai saat sekolah, kemudian lulus dengan nilai baik, lalu mudah mendapat kerja yang menghasilkan gaji besar, kemudian nikah memiliki keturuan, dan mati”  sehingga kalangan berpendidikan hari ini menjadi apatis terhadap fakta sosial yang ada disekitarnya.

Tenaga Pengajar atau Guru
Guru atau tenaga pengajar merupakan komponen yang sangat berpenagruh besar terhadap perkembangan peserta didik kedepannya. Dalam perspektif Islam sendiri ada sebuah Maqolah “al-Ummu Madrasatu al-Ula...” Seorang Ibu adalah guru pertama bagi seorang anak, dalam konteks ini dikoresasikan bahwasanya seorang bayi yang lahir itu bagaikan kertas putih yang bebas untuk ditulis apapun oleh orang tuanya sebagai guru pertama dalam perkembangan seorang anak. 

Sama halnya dengan para peserta didik baik dalam tingkat dasar, menengah, dan atas yang masih mampu diubah pola fikirnya terhadap segala kejadian yang terlihat atau terdengar olehnya, peserta didik yang masih dalam masa transisi di tingkat menengahlah yang bisa dikatakan sangat rawan akan asumsi-asumsi pengetahuan akan arah kedepan, disertai dengan tingkat kelaliban emosinal masa remaja yang membuat para pelajar terkadanga mengalami dilema terhadap segala keadaan yang dialaminya.

Peran tenaga atau guru sangat penting dalam mengajari, mengawasi, serta membimbing peserta didik dalam melewati masa transisi puber ini, supuya kelak tidak terjadi hal yang tidak diinginkan terjadi.

Konpetensi serta propesionalitas seorang guru sangat dituntut dalam hal ini, agar ilmu pengetahuan yang menjadi jembatan menuju pandangan baik di masa depan dapat tersampaikan secara maxsimal kepada peserta didik. Seperti yang terjadai pada negara Finlandia sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, negara tersebut hanya memilih orang-orang terbaik untuk menjadi tenaga pengajar.


Tentu kita ingin untuk menerapkan hal ini pada pendidikan di Ibu Pertiwi, supaya meningkatkan gread pendidikan negri ini, namun fakta yang ada, sungguh amat kompleks terlihatnya. Pernah saya temui ada Mahasiswa yang kuliah di Jurusan Pendidikan namun dengan tanpa ideolisme yang jelas, sehingga menjangar hanya sekedar rutinitas tanpa bertujuan mencerdaskan anak bangsa, ada juga seorang yang tidak kuliah di fakultas pendidikan namun mampu menjadi pengajar yang baik, tentu hal ini menjadi kontradiksi yang membuat dilematis dunia pendidikan negeri ini.

Faktor wilayah juga mempengaruhi peran tenaga pengajar dalam pendidikan kita hari ini. Pernah saya bertemu dengan salah seorang kepala sekolah merangkap guru di dataran tinggi Wonosalam, Jombang dan sempat berdialog beberapa waktu dengan beliau, beliau mengutarakan “disini guru yang mengajar rangkep-rangkep, kadang ya saya mengajar matematika, dan ngajar ipa juga, ya maklum tenaga pengajar disini tidak sebanyak di sekolah-sekolah Negri di Kota”. Menjadi perkara yang dilematis tentunya, ada teman-teman saya yang lulus fakultas pendidikan hingga kini belum mengajar, disisi lain terdapat lembaga sekolah yang kekurangan guru.

Namun ada yang menarik yang perlu saya tulis disini, Beliau berkata juga bahwa apa yang dilakukan semua guru ini berlandaskan ikhlas tulus mengajar walau dengan keterbatasan, Beliau juga menambahi bahwa para guru atau tenaga pengajar di Kota ketika istirahat selalu memperbincangkan uang dan hutang. Ada sebuah penelitian pernah membuktikan bahwa ada sebuah kasus sebuah pendidikan yang secara akademisi lulusan S2 diluar Pulau Jawa, kemampuanya setara dengan S1 di Pulau Jawa.

Sekilas paradigma ini tentu sangat membuat dilematis dunia Pendidikan Ibu Pertiwi tercinta ini, maka dari itu diperlukan sebuah indikator atau standarisasi tenaga pengajar, serta pemerataan tenaga pengajar guna tidak terjadi ketimpangan ilmu pengetahuan antara siswa-siswi yang terpencil dan jauh dari pusat keramaian kota.

Membaca
Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia salah satu program untuk terwujudnya cita-cita negara yang tertuang dalam UUD 1945 “…mencerdaskan anak bangsa…” adalah menuntaskan buta huruf bagi seluruh warga Indonesia. Membaca merupakan jembatan paten akan terbukanya cakrawala ilmu. Dalam prespektif Islam sendiri menyatakan bahwa sebelum Allah memrintahkan untuk Sholat, Puasa, Zakat, serta Ibadah lainya, Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk Membaca. Hal ini memberi bukti kuat bahwa untuk mencapai segala capaian yang bernilai lebih dalam segala hal, pintu pertama yang harus ditempuh dengan membaca.

Berdasarkan hasil survei dari 63 Negara terkait minat membaca, Indonesia menempati posisi 2 terbawah dalam hal minat membaca, ini berbanding terbalik dengan Finlandia yang sejak kecil menanamkan minat baca yang kuat kepada seluruh masyarakat, sehingga program tersebut mampu menjadikan Finlandia sebagai Negara dengan sistem pendidikan terbaik dunia, dan disusul dengan negara lain yang tentu tinggi dalam hal minta membaca buku.

Belum lama saya sempat berbincang dengan kawan saya mengenai pemilu 5 tahunan yang diadakan di negri ini, mengenai kalkulasi dana yang menurut kami terlalu banyak mubazirnya. Walau ini tidak bisa dikatakan data yang valid, namun saya rasa teman-teman mampu berangan-angan dengan dana negara tersebut. Dalam sebuah TPS terdiri dari struktur elemen seperti, Ketua TPS, Saksi, Pengawas, dll. Seorang Saksi mendapat Upah rata-rata Rp. 250.000, katakanlah dalam pemilu ini 10 Partai, maka aka ada 10 saksi, maka uang yang dikeluarkan ialah Rp. 2.500.00, belum lagi yang menjabat diatas sasksi, dan disokong dana-dana oleh calon DPRD atau DPD setempat yang tidak menutup kemungkinan memberikan dana kepada TPS tertentu demi tujuan yang entahlah disebut apa itu. 

Bila dikalkulasikan dan dipukul rata, setiap TPS menerima Rp. 10.000.000 s.d. Rp. 20.000.000, lalu TPS ini ada pada setiap RT, satu desa memiliki beberapa RT, satu kecamatan memiliki beberapa desa, satu kabupaten/kota memiliki beberapa kecamatan, dan satu provinsi memiliki beberapa kabupaten/kota, yang kesemuanya itu tergabung dalam NKRI yang luas dengan jutaan penduduknya.

Bila diangan-angan akan berapa Uang dana Negara yang terbuang percuma demi pesta Akbar yang disebut pemilu, kalau memang negri ini sudah maju secara teknolgi dan kalau memang benar E-KTP itu sudah berfungsi, maka untuk apa pemilu dengan kertas coblos dan perhitungan manual masih tetap dilakukan yang faktanya menalan 500 orang lebih meninggal akibat kelelahan karena Pemilu serentak. 

Satu hal yang menjadi perbincangan saya dengan teman saya dalam hal ini ialah, andai saja setengah dana pemilu ini digunakan untuk mendanai pengadaan buku untuk menunjang fasilitas seluruh perpustakaan pada sekolah, terutama sekolah yang berada di pelosok negri, mungkin seluruh sekolah di negri penuh dengan buku bacaan yang siap untuk dibaca sebagai penunjang minat membaca.

 Pada dasarnya para pelajar zaman ini semua memiliki minat membaca, terbukti dengan kuatnya mereka bermain Hp berjam-jam dengan balas-membalas chat dengan seorang yang menarik perhatian mereka, atau konten yang membuat betah untuk itu. Namun amat disayangkan, ketika mereka dihadapkan dengan buku bacaan yang berisi teoritik ilmu pengetahuan, maka mereka menolak dengan alsanan tertentu. Tentu ini menjadi problem tersindiri, apakah karena kurang menariknya konten-konten buku di perpustakaan yang hanya itu-itu saja, atau lingkungan yang membesarkan mereka jauh dari hal minat membaca buku.

Solusi alternatif mengenai minat membaca pernah dan masih dengan konsisten dilakukan oleh teman-teman yang berinisiatif untuk membuka Perpus Jalanan yakni sebuah Lapak Buku yang digelar di titik keramaian kota atau lembaga pendidikan, sehingga mampu menarik perhatian orang-orang yang melihatnya, lantas timbul minat membaca.

Ada hal unik dan menarik perhatian saya dan ingin saya tulis salah satu perkataan dari penggerak Aliansi Perpustakaan Jalanan Jombang “Sebenernya dengan perantara Membuka Perpus Jalanan ini aku ingin ide-ide progresif ini menyebar luas ke seluruh warga masyarakat, untuk memberi tahu bahwa tanah yang kita pijak sedang tidak baik-baik saja, tapi aku bosen, karena anak-anaknya itu-itu saja….” Nah, tujuan yang amat mulia ini terkendala dengan kurangnya masa yang tertarik dan apatis terhadap fakta yang ada pada sekelilingnya.

Lagi-lagi pendidikan kita hari ini membuktikan bahwa kita masih buta terhadap membaca, baik membaca teoiritik secara serius, lebih-lebih membaca situasi keadaan yang terjadi pada sekitar lingkungan yang kita pijaki. Sebagai penutup dari membaca ini, ada satu kata atau slogan yang perlu ditanamkan kuat terutama bagi mereka berkeinginan kuat untuk suatu perubahan pendidikan kea rah yang lebih maju, dan mampu merubah status Indonesia dari negara berkembang menjadi negara maju. “Membaca Mengamalkan al-Qur’an, Membaca Melawan Kebodohan, Membaca Membuka Pengetahuan, Membaca Melawan Ketidakadilan”.

Lantass dari 3 hal yang telah diuraikan tersebut apa korelasinya terhadap judul tersebut? Nah.. Jika teman-teman membaca dengan teliti, bahwa Kurikulum itu diibartakan sebagai acuan atau medan untuk berlari dengan tujuan nilai atau kelulusan semata, lantas apa bedanya para pelajar dengan kuda. 

Lalu kita pasti ingin seorang guru yang kompeten dan propesional dalam bidangnya sehingga para pelajar mampu diarahkan dengan baik dan benar untuk mengembangkan bakat atau minatnya, kalau kurikulum kita membuat kita menjadi seperti kuda, maka kuda terbaik yang ada ialah kuda catur yang mampu berjalan paling berbeda, dan mampu melangkahi seluruh pemain catur, termasuk raja sekalipun, tentu untuk meraih kemenangan diperlukan pengarah kuda yang baik, yang guru sebagai pengarah, pengajar, serta pembimbing siswa.

Kemudian membaca, seorang pemain catur haruslah sigap dan tanggap dalam membaca setiap gerakan dan peluang yang ada untuk dapat memenangkan pertandingan, tentu untuk sampai dalam hal ini diperlukan banyak pengalaman dalam pembacaannya dalam papan hitam-putih berbentuk persegi tersebut, maka pelajar yang ingin menciptakan pendidikan yang maju juga sangat diperlukan membaca yang banyak atau literasi yang terus dikembangkan akan mampu mencapai tujuan negara dalam UUD 1945 “…mencerdaskan anak bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.” Yaitu setelah anak bangsa para terpelajar cerdas, maka kita siap untuk bersaing terhadap arus persaingan global.

Kita butuh pendidikan yang jujur, bermoral, dan manusiawi, yakni pendidikan yang membuat manusia menjadi manusia dan perduli terhadap manusia lainya. Kita perlu soslusi pendidikan tanpa dogma dan paradigma, sehingan para terpelajar mengerti apa yang harus dan akan dilakukan untuk menghadapi persaingan arus global serta menjadi pemain terhadapnya, bukan sekedar penonton yang bertepuk tangan dan membanggakan dengan hasil negara lain, serta pendidikan yang mampu merubah negara ini menjadi negara maju dan terwujudnya cita-cita negara dalam UUD 1945. “wahai kaum pelajar, bangkitlah dari tidur panjang kalian….”

*Penulis bisa dihubungi lewat Instagramnya yaitu @pamoy_syn29

(red/segapmedia.online)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Yuk tulis kesanmu setelah membaca tulisan di atas. Masukan, kritik, dan saran. Terima kasih. Salam literasi.