Seiring
perkembangan zaman yang membuat sebuah budaya mengalami perubahan. Dengan
dimanjakan dengan teknologi yang serba canggih membuat gaya hidup serba ingin
instan. Maka saat ini kebanyakan orang lebih menyukai konten vidio daripada
sebuah tulisan yang menuntutnya untuk membaca dibandingkan dengan menonton
sebuah vidio. Inilah yang disebut globalisasi.
Globalisasi adalah proses masuknya
ke ruang lingkup dunia
atau bisa dikatakan modernisasi. Bisa diartikan juga sebuah
perkembangan dan integrasi internasional yang terjadi karena pertukaran suatu
budaya dan lain-lain. Dari pertukaran tersebut semakin luas pandangan dan gaya
hidup di berbagai belahan dunia yang menuntutnya untuk maju dan
memperkembangkan. Dalam
tulisan ini, penulis menyajikan tulisan opini ini dengan menyertakan data
didalamnya.
Di
era globalisasi ini budaya literasi
sudah sulit ditemukan pada lapisan
masyarakat. Budaya literasi seakan-akan menjadi sebuah budaya yang tidak
dikenal dan tidak dianggap keberadaannya karena tergerus oleh derasnya
perkembangan teknologi dan komunikasi seperti gadget yang sudah menjadi sebuah kebutuhan di berbagai belahan dunia
termasuk Indonesia. Pemuda saat ini lebih senang dengan berbagai macam gadget daripada pena dan buku. Lebih
senang mengupdate status di media
sosial yang terkesan alay dan tidak
bermanfaat. Menjadikan sebuah budaya menulis sulit diterapkan pada kehidupan
sehari-hari.
Gaya
hidup yang serba ingin instan membuat malas untuk membaca. Melihat sebuah
tulisan panjang di media sosial hanya di lihat saja tanpa dibaca lebih lanjut.
Hanya membaca kutipan tanpa keseluruhan. Kemudian di share atau bagikan ke orang lain. Dari sini lah muncul yang namanya
hatespeech atau hoax. Sebuah budaya
asal sharing tanpa menyaring atau
memastikan berita itu benar atau hanya buatan. Padahal membaca adalah sebuah
proses dalam menulis, karena menulis adalah buah dari membaca.
Maka
dari itu tidak dipungkiri jika
minat
baca bangsa Indonesia berada pada ranking dua dari bawah. Central
Connecticut State University (CCSU) mengeluarkan hasil penelitian terkait “World Most Literate Nations” atau peringkat
literasi negara-negara dunia pada Maret 2016. Indonesia berada di urutan
60 dari 61 negara yang disurvei. Indonesia masih unggul dari satu negara, yakni
Botswana yang berada di kerak peringkat literasi ini.
Nomor satu ada Finlandia,
disusul Norwegia, Islandia, Denmark, Swedia, Swiss, AS, dan Jerman.Korea
Selatan dapat ranking 22, Jepang ada pada ranking 32, dan Singapura berada di
peringkat ke-36. Malaysia ada di barisan ke-53. Literasi secara umum merupakan
sebuah kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca dan menulis, berbicara,
menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang
diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
Dari
sinilah terlihat bahwa masyakat Indonesia masih apatis atau bodo amat terhadap budaya
literasi. Menulis merupakan sebuah budaya yang sudah turun menurun. Sejak 14
abad yang lalu pada zaman Nabi Muhammad SAW sudah membudaya dikalangan para sahabat
yang menulis firman Allah dan sabda Rasulullah.
Kegiatan menulis ini
menggunakan media seadanya seperti pelepah kayu, batu, dan tulang. Dalam Al-Qur’an
surah
Al-Alaq ayat 3 dan 4 disebutkan, “Bacalah, dan Tuhanmulah yang maha pemurah.
Yang mengajarkan (manusia) dengan perantara kalam.” Kalam di sini berarti dengan perantara
menulis. Bahkan, sebelum tahun masehi, kegiatan menulis telah berlangsung
dengan dibuktikannya tulisan yang ada disitus-situs kuno yang biasanya terdapat didinding-dinding
yang berupa ukiran atau relief.
Setelah itu pada masa selanjutnya
budaya menulis ini diturunkan kepada cendekiawan yakni para ulama sebagai pewaris
para nabi. Dilihat pada karangan kitab-kitab klasik para ulama terdahulu yang
rajin menulis sampai berjilid-jilid. Contohnya kitab karangan Imam Ibnu Hajar
Al-Asqalani bernama Fathul Bari’ yang
berjumlah 17 jilid berisi 400 sampai 800 halaman perjilidnya.
Dan masih banyak ulama lainnya yang memiliki
karya sampai berjilid-jilid dan berjudul-judul. Pendiri Pesantren Tebuireng
Jombang, KH. Hasyim Asy’ari yang menulis berbagai judul kitab, ada 18 karya
tulis beliau yang kini dikumpulkan menjadi satu kitab bernama Irsyadus Sari. Ini merupakan sebuah
budaya yang bagus untuk dicontoh dan diterapkan pada saat ini. Sebagai uswatun
hasanah atau contoh baik yang perlu dilakukan pada saat ini.
Menggalang kepedulian masyarakat
terhadap budaya literasi sangatlah
penting, karena tanpa literasi khusunya membaca
kita adalah manusia yang tidak tahu apa-apa. Membaca adalah jendela dunia. Semakin banyak membaca, semakin
banyak pengetahuan yang kita ketahui.Sementara persaingan membutuhkan keilmuan
yang tinggi, jadi untuk menciptakan negara yang berintegritas dan maju.
Seyogianya pemuda memiliki daya saing yang tinggi.
Di Jombang ada sebuah
pergerakan menggalang minat membaca dan menulis yang dilakukan oleh sekumpulan
pemuda melek literasi yang dinamakan Aliansi Perpus Jalanan Jombang. Komunitas
ini setiap harinya melapak buku untuk dibaca ditempat. Melapak ditempat yang
ramai sehingga banyak yang tertarik untuk membaca buku. Tujuannya sungguh mulia
yakni untuk mencerdaskan masyarakat Indonesia. Komunitas ini juga
mensosialisasikan pentingnya membaca bagi setiap orang dan dampak buruk bagi negara
jika rakyatnya enggan untuk membaca dan menulis.
Adapun dilingkungan sekolah, seperti
pada sekolah MTsN 7 Kediri, bahwa siswa-siswi disekolah tersebut difasilitasi penuh
untuk menulis dan membaca. Sekolah membuat program penerbitan buku sendiri dan
lebih menariknya buku itu sudah ISBN (nomor buku standar internasional).
Kegiatan ini dimulai dari 2016 dan sampai saat ini sudah 50 judul buku yang
sudah diterbitkan. Ini adalah sebuah gebrakan baru untuk menghidupkan budaya
literasi yang telah mati. Siswa akan semangat karena budaya menulis tertanam
dilingkungan sekitarnya, secara tidak langsung mereka terdorong untuk
membudayakan menulis tanpa keterpaksaan.
Di Madrasah Aliyah Salafiyah
Syafi’iyah Tebuireng, ada progam
Gerakan
Literasi. Gerakan ini adalah wujud sekolah dalam mendobrak pergerakan minat membaca
dan menulispara siswa. Programnya
dilaksanakan setiap hari senin sesudah shalat duha dengan membaca 15 menit lalu
dipresentasikan hasil bacaannya di depan banyak orang oleh perwakilan kelas.
Kemudian setelah selesai membaca, para siswa diberi tugas untuk membuat resensi
dari buku tersebut. Buku disediakan dan dipinjamkan oleh sekolah.
Di Pesantren
Tebuireng juga menyediakan berbagai wadah para siswa atau santri untuk berkarya
khususnya menulis. Ada Majalah Tebuireng yang dibagikan kepada seluruh santri
setiap 2 bulan sekali, dan didalam majalah itu memuat tulisan-tulisan santri.
Juga disediakan penerbitan buku milik pesantren yang dinamakan Pustaka
Tebuireng, santri yang memiliki karya tulis buku bisa diterbitkan melalui
penerbitan ini. Dalam mengikuti perkembangan globalisasi, disediakan juga wadah
menulis yaitu di website Tebuireng.Online
yang mempersilahkan santri-santri untuk mengirim karya nya untuk dimuat di website ini dengan ribuan viewers atau pengunjung perharinya. Website ini berafiliasi ke media-media
lain yaitu Facebook, Instagram, dan Twitter.
Dari
semua pergerakan guna meningkatkan minat baca masyarakat, sebenarnya masih
sangat jauh peradabannya dibandingkan budaya literasi di negara-negara lainnya.
Di antara negara-negara Asean saja, Indonesia menempati urutan ketiga terbawah
bersama Kamboja dan Laos. Bagaimana tidak, penelitian UNESCO mengenai minat
baca pada tahun 2014, lagi-lagi menyebutkan bahwa anak Indonesia rata-rata membaca
hanya 27 halaman buku dalam satu tahun.
Kondisi tersebut merupakan tidak
bersabatnya masyarakat Indonesia dengan buku. Tak heran jika UNESCO pada tahun
2012 menunjukkan bahwa indeks tingkat membaca Indonesia hanyalah 0,001. Itu
artinya, dari 1.000 penduduk, hanya ada 1 orang yang mau membaca buku dengan
serius. Dengan rasio ini, berarti di
antara
250 juta penduduk Indonesia, hanya 250.000 yang punya minat baca. Hal ini
sangat berbanding terbalik dengan jumlah pengguna internet di Indonesia yang
mencapai 88,1 Juta pada 2014.
Fakta
tersebut didukung juga oleh survei tiga tahunan Badan Pusat Statistik (BPS)
mengenai minat membaca dan menonton anak-anak Indonesia, yang terakhir kali
dilakukan pada tahun 2012. Dikatakan, hanya 17,66% anak-anak Indonesia yang
memiliki minat baca.
Sementara, yang memiliki minat menonton mencapai 91,67%.
Itu disebabkan oleh perkembangan globalisasi yang tidak bisa dibendung. Di manjakan
dengan teknologi yang serba canggih membuat gaya hidup serba ingin mudah atau
instan. Kebanyakan lebih memilih menonton daripada membaca bersusah payah.
Dengan melihat apa yang sudah jadi seperti vidio atau film dari pada membaca
buku ataupun novel.
Di sinilah letak bangsa Indonesia sulit untuk maju. Hanya
menjadi negara berkembang saja. Padahal negara-negara maju mempunyai indeks literasi yang tinggi. Dari buku
terdapatlah ilmu-ilmu dan pemikiran luas yang bisa membuat seseorang bisa berpikir
maju dan memiliki pandangan luas. Disinilah masyarakat bisa memilah informasi
yang benar dan salah. Maka masyarakat bisa terhindar dari hoax yang mengancam
bangsa Indonesia saaat ini. Maka
perlu digenjot kembali minat masyarakat Indonesia dalam menumbuhkan dan
meningkatkan minat menulis.
Namun
berbalik dari fakta pengunjung Perpustakaan Nasional di Jakarta. Pada situs GenPI.co melaporkan
saat bertandang ke gedung perpus dengan 24 lantai yang ada di kawasan Jalan
Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Tampak
ratusan pengunjung memadati setiap lantai. Banyak di antara mereka dari
kalangan milenial dan sisanya orang dewasa yang sedang melakukan literasi
membaca atau sekadar
mengambil data dari buku bacaan.
Perpustakaan Nasional ini mulai
diresmikan 14 september 2017 sampai sekarang grafiknya justru meningkat. Dalam
sehari kunjungan sekitar 800 orang. 500 orang yang on site (datang langsung), sekitar 200 sampai 300 itu
yang online di Perpusnas Digital Library. Hal ini didukung juga oleh
sarana wisata dan berfoto, sehingga membuat orang tertarik untuk mengunjungi
perpustakaan ini.
Dan juga data yang dipublikasikan London Book Fair 2019,
Indonesia merupakan negara yang paling aktif menerbitkan buku di antara
negara-negara anggota Asean. Setiap tahun setidaknya ada 30 ribu judul buku
yang diterbitkan di Indonesia. Malaysia berada diposisi kedua dengan 19 ribu
judul buku yang diterbitkan per tahun. Thailand diposisi ketiga dengan 17 ribu
judul buku per tahun. Singapura diposisi keempat dengan 9.952 judul buku per
tahun. Sementara itu, Filipina di urutan kelima dengan 7 ribu judul buku per
tahun.
Memang
untuk mewujudkan budaya menulis ini perlu adanya afiliasi dari berbagai elemen
seperti pemerintahan, perusahaan, organisasi, ataupun sebuah instansi yang
harusnya ikut berperan dalam menggalang kepedulian literasi. Lebih pentingnya lagi budaya literasi sudah ditanamkan
sejak di lingkungan keluarga. Di era modern ini semua hal mudah
untuk didapat. Maka dari itu, dakwah literasi ini bisa dijangkau oleh banyak
orang dengan memanfaatkan Revolusi Industri 4.0 untuk menggalang kepedulian
literasi di media sosial atau dunia cyber.
Dengan dibuatnya akun-akun menulis dan progam menulis online. Salah satunya
Gerakan Nulis Yuk (GNY) yang didirikan oleh Seto Galih Pratomo dalam menggalang
budaya menulis masyarakat dengan menggunakan grup Whatsapp dan website
Segap Media. Maka sebenarnya siapapun bisa membuat pelajaran apapun itu terkait
literasi via online seperti akun media sosial tentang literasi, gagasan,
sastra, kutipan kata tokoh, dan lain-lain.
Contoh semacam itu sudah termasuk
menciptakan literasi menulis di era globalisasi ini yang menuntut akan
digitalisasi. Saat ini perpustakaan konvensional mengalami penurunan dengan
adanya gadget yang bisa dibawa ke mana-mana melalui buku elektronik
atau e-book. Di sinilah peran
pemanfaatan era globalisasi dengan mengikuti perkembangan zaman yang beralih
dari konvensional menuju digital.
Revolusi
literasi bisa
mengubah
menjadi kepedulian yang berbuah minat. Dari bodo amat menjadi aktif menulis dengan
adanya sebuah dakwah literasi seperti pergerakan-pergerakan yang telah
dipaparkan pada bagian isi. Data di
atas
tersebut menyajikan bahwa sebagai bangsa Indonesia, perlu meningkatkan daya
saing literasi yang kuat sebab minat membaca dan menulis masih dalam titik terendah.
Jika ini dibiarkan begitu saja maka akan berdampak buruk bagi roda kemajuan
bangsa.
Dari minat tersebut, maka seseorang akan mencari-cari dan melakukan
dengan senang hati tentang apa yang diminati tersebut khususnya menulis. Di
dukung dengan perkembangan globalisasi
yang menyajikan kemudahan didalam dunia cyber
yakni media sosial yang beragam. Dengan membuat akun literasi dan progam
menulis online yang mampu mendobrak
minat menulis. Inilah revolusi yang menjadikan apatis menulis menjadi aktif
menulis di era globalisasi.
Semua
usaha menggalang minat literasi tersebut harus di imbangi dengan menanamkan
minat literasi pada lingkungan awal atau dari rumah. Budaya literasi dimulai
dari lingkungan keluarga. Karena keluarga adalah taman pendidikan pertama bagi anak. Dalam Islam terdapat
sebuah pribahasa yang artinya Ibu adalah sekolah pertama. Kebanyakan para
cendekiawan mempunyai banyak penggemar atau menjadi tokoh publik yang bisa memengaruhi
banyak orang.
Hal ini merupakan ajang menggalang minat literasi yang dimulai
dari lingkungan keluarga. Seperti program Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan
dalam acara IBF (Islamic Book Fair) yang mencanangkan budaya literasi dari
keluarga, tentu ini adalah sebuah gerakan meningkatkan minat literasi yang
fleksibel, adanya sosialisasi ke masyarakat bahwa harus membudayakan membaca
mulai dari lingkungan paling kecil yakni lingkungan keluarga.
Bila usaha
tersebut mampu dilaksanakan oleh keluarga, niscaya akan terjadi perubahan yang
signifikan. Peringatan Hari Keluarga Nasional yang diperingati setiap tanggal
29 Juni merupakan ajang untuk meningkatkan minat literasi di lingkungan
keluarga. Hal ini sesuai dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia
no.39 Tahun 2014 tentang Hari Keluarga Nasional (Harganas).
Pada tahun 2019,
tema peringatan Harganas XXVI ini adalah “Hari Keluarga: Hari Kita Semua”,
dengan tagline “Cinta Keluarga, Cinta Terencana”. Melalui tema dan tagline
tersebut diharapkan dapat mendekatkan dan meningkatkan kembali interaksi antara
anggota keluarga. Dimana, salah satunya terwujud dalam “Gerakan Kemballi ke
Meja Makan” sebagai satu dari beberapa kegiatan yang digalakkan dalam momentum
Harganas XXVI Tahun 2019.
Perlunya
untuk menumbuhkan minat literasi. Karena dari minat tersebut, seseorang akan
mencari-cari apa yang diminatinya. Terutama dalam minat membaca yang berbuah
pada menulis. Dimulai
dengan cara pembiasaan yang berkelanjutan. Satu hari orang tua mewajibkan
kepada anaknya untuk membaca minimal 2 jam per hari dan orang tua 3 jam
perhari. Dan menulis apapun satu lembar perhari. Saling mengingatkan untuk
tidak lepas dalam membaca dan menulis. Jika ini terus dilakukan, maka
pembiasaan ini akan menjadi kebiasaan yang sulit untuk ditinggalkan.
Ini adalah
revolusi literasi yang ampuh dimulai dari lingkungan terkecil yakni lingkungan
keluarga. Kalau orang tua sudah menerapkan budaya literasi sejak di lingkungan
keluarga, maka sang anak akan berkembang dengan budaya literasi yang bagus.
Budaya literasi keluarga sangatlah penting untuk kemajuan bangsa.
Karena di negara maju, pasti indeks literasi nya tinggi. Contohnya negara yang
menempati indeks literasi pertama, Finlandia yang merupakan negara maju. Di sini
terlihat bahwa budaya literasi masyarakat mempengaruhi majunya suatu negara.
(red/segapmedia.online)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Yuk tulis kesanmu setelah membaca tulisan di atas. Masukan, kritik, dan saran. Terima kasih. Salam literasi.