Oleh: Muhammad Shalahuddin Al Ayyubi
Mahasiswa Hubungan Internasional UII
Berangkat dari renungan yang berkelanjutan
Ketika Gunung Merapi tampak cerah dari kejauhan
Sontak memori lampau itu kembali bergayutan
Terbesit dalam kalbu, “Bagaimana keadaan Tlogolele-ku di balik sana?”
Entah berbulan-bulan berlalu—tidak,
Bahkan bertahun-tahun pun…
Rasa teragak dalam kalbu ini ‘kan senantiasa ada
Bermastautin dalam nirwana di lereng ancala
Senyum semringah warga yang tak terlupa
Gelak tawa bocah-bocah desa yang menikmati pergelaran lomba
Sapaan hangat ibu-ibu desa kala fajar hingga senja
Rangkulan tangan pemuda desa yang luar biasa
Juga pastinya tak lupa…
kebersamaan dengan kalian, kawan-kawan unit tercinta
Dengan pelbagai ukiran kenangan demikian, bagaimana mungkin aku bisa lupa
Tlogolele menjadi simbol gerbang awal perjuangan dalam mengabdi
Lalu, Tlogomulyo tersenyum memastikan bekal kita tercukupi
Dilanjutkan Ngadirojo yang mengingatkan kita pentingnya mengamalkan ilmu padi
Sedangkan Karang , sudah pasti adalah rumah untuk pulang
Ada pula Takeran yang menjadi saksi cipta, rasa, maupun karsa
Hingga pada akhirnya Stabelan yang menjadi puncak tertinggi dari keikhlasan
(red/segapmedia.online)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Yuk tulis kesanmu setelah membaca tulisan di atas. Masukan, kritik, dan saran. Terima kasih. Salam literasi.