Kemelut Meriam Semu di Utopia Timur Abad 16 - SEGAP Media .Online | Students Media for Indonesia

Breaking


Kamis, 16 September 2021

Kemelut Meriam Semu di Utopia Timur Abad 16

Jungku dagang Melayu (Oleh Woodard, 1796)

Oleh: Dafiq Febriali Sahl*


        Mesiu Portugis melukis kelam emporium-emporium Malaka sejak tahun 1511. “Lihatkah engkau ada dermaga lain dari tempatmu itu?” risau nahkoda Jawa kepada navigator kapal, nampak nahkoda yang mengendus emporium baru untuk rempah di lambung kapal tanpa tikar. Heboh pula pemekaran kapal-kapal barat dan jung-jung dari utara sehingga benarlah perdagangan di tanah utopia permulaan abad ke-16, sebut saja Java Major (Jawa Timur) yang pantas disebut utopia timur.


Ujung tahun 1513, Ismail orangnya, nahkoda dan paddler asal Lamongan yang diutus D’Alburquerque untuk menggiring jung penuh rempah dari Malaka mengiringi Nusantara Timur bersama layar-layar pongah di 3 kapal yang sudah senja.


Juru tinjau terlamun nafas Dewa Poseidon kala memerjuangkan seonggok gulden. Sama hal dengan Syahbandar di Utopia Timur yang dijadikan borjuis oleh empon-empon, begitulah sepemahaman Ismail.

Sepulangnya dari Mameluk (Maluku) dengan borongan cravo (cengkeh), Ismail rehat di Tuban namun di sana kapalnya bocor, karena gelisah, dengan sigap Roy De Brito, gubernur Malaka kala itu mengutus Juam Lopez untuk menjemputnya.

Berkat oligark barat yang melengking “glory!!” sembari memelototi rempah tergelinding di geladak kapal, Ismail bisa meredam suara perut keluarganya.


Berselang 30 tahun, adik dewasa Roy de Brito bernama Acton de Brito penasaran dengan tuturan Roy de Brito tentang niaga rempah di Utopia Timur. Kemungkinan besar juga diilhami kisah pedagang Melayu tentang Tuhan melahirkan Timor untuk kayu cendana dan Banda untuk bunga fuli dan Maluku untuk cengkih, dan barang niaga ini tidak dikenal di bumi manapun kecuali di tempat itu.


Meniti jalur sutra, bandar demi bandar terlampaui Acton dengan modal 5 kapal coklat muda. Merasa lelah ia pun mengerem kapal di Tuban lalu Gresik selama kurang lebih 17 hari. Di sana Acton nampak riang kendati menyadari bahwa ia singgah di persinggahan yang eksotis dengan melubernya pasar dagang rempah. Acton lantas menggerutu “inikah yang dimaksud utopia oleh Thomas More?.”


Muara kelabu memacu Acton ke Madura. Di pojok kapal itu ia meramal angin sembari terkejut dengan gantungan nangka dan durian. Berniat memetiknya, kapalnya malah beralih tangan ke perompak dan 30 awak kapalnya diikat hingga sekarat. Untung saja adipati monarki itu menghendaki upeti dan membebaskannya namun tidak dengan kapalnya. Kabut kecewa memandu Acton mengadu ke Batavia.

“Mengapa wajahmu kusut kawan?” tanya Martin Dorrea dengan dahinya mengerut di pelabuhan dekat Batavia tahun 1543.

Bernada kesal Acton pun menceritakan tragedi yang dialaminya. Dorrea terkejut.

Sebaliknya, Dorrea hanyalah terkesima dengan buah-buahan itu, seolah menghiraukan tragedinya. Dorrea menyayangkan rempah yang hilang, “bahkan jika engkau membawa 2 kapal besar kosong dan 1 kapal kecil berisi rempah ke barat lalu 2 kapal besar tenggelam maka engkau tetap beruntung dengan rempah di kapal kecil.”

Tanpa benak panjang, rembulan menyapa Dorrea yang merekrut pegawai korup Acton, Simao de Salsa supaya bisa semakmur Acton.

Bukan ekspedisi Hongi, kali ini bak hiruk bala prajurit Tartar.


Pantai Utara Jawa mendayung mesin-mesin kapital Dorrea. Tak asing bagi segala kongsi dan kompeni bahwa Utopia Timur bergemerincing pasar rempah serta surganya. Adapun 7 kapal Dorrea siaga bersanding dengan meriam carronade telah memborong puluhan kwintal pala dan kayu manis dari Pelabuhan Kambang Putih, 150 karung kain dari Pelabuhan Kalimas, puluhan ton beras, garam, dan tebu dari Pelabuhan Tanjung Tembikar, diteruskan hingga Blambangan.


Dorrr..Dorr..Dorrr…!!!

Senyap malam dipecah layangan meriam misterius ke kapal Dorrea. Empat kapal karam, sisanya kritis, deretan awak berjatuhan, dan Dorrea terbakar, semuanya terdampar menunggu pagi hari.

Yuan Sin, adagang (saudagar regional) Tionghoa yang menggotong mereka bersaksi bahwa kapal Spanyol yang dinahkodai D’Magellan tiba di Panarukan 2 jam sebelum mereka. Sontak surat permintaan armada tempur dari sekretaris Dorrea diterima Roy de Brito di Batavia. Belum juga lusa, 34 kapal meriam 24 pound membrondong 17 kapal Spanyol yang terbirit-birit ke Maluku, 6 hari 6 malam pertempuran epik yang mencekik terjadi.

Portugis didampingi Europe International Company (Mesin monopoli rempah Inggris di Asia) milik Britania sebagai tanggapan Spanyol yang menggandeng Koloni Cape karya Belanda.

Kiranya rampung, perang dagang membekukan segala jaringan maritim barat di Asia. Dengungan barter rempah di Utopia Timur teraneksasi dentuman mortar arogansi yang berulang kali menakuti tengkulak mujair dan kerapu setempat.

Bukan sesekali kerugian Portugis dan Spanyol menyilet langit.

Geldschepen  (kapal raksasa terakhir Portugis) yang remuk menggeret D’Alburquerque selaku pimpinan kompeni oportunistik untuk mendudukkan D’Magellan. Sebelum matahari naik mimbar di tahun 1602, Pelabuhan Tanjung Perak menjadi saksi ribuan serdadu kurus Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda yang berdiri tegang mengawal pimpinan mereka yang tidak mengerti dosa.


Prok..prok..prok!!!, gemuruh tepuk tangan menjiwai ruang kongres.

Begitulah sensasi pasca pengesahan Indische Spice Monopoly Compagnie atau “Perusahaan Monopoli Rempah Hindia” yang menjungkirkan konflik menjadi konsensus. Pribumi yang absen hanya berimajinasi dengan intuisi menafsirkan genjatan berkarang para antagonis itu sebagai akhir dari perang rempah.

Sekali-kali tidak!!.

Di samping Roy, Franzcisco berbisik “benar pula kalimat ‘homo homini lupus’ itu.” Niscaya ini hanyalah awal perhelatan niaga rempah terbesar di utopia yang tak tahu lagi timur sekalipun barat.


*Penulis merupakan siswa SMAN 1 Pasuruan, Jawa Timur

(red/segapmedia.online)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Yuk tulis kesanmu setelah membaca tulisan di atas. Masukan, kritik, dan saran. Terima kasih. Salam literasi.