Sebuah Autokritik, Jangan Dijadikan Otokritik: Menengahi Ruang Dialektika 122 Tahun Pesantren Tebuireng - SEGAP Media .Online | Students Media for Indonesia

Breaking


Jumat, 06 Agustus 2021

Sebuah Autokritik, Jangan Dijadikan Otokritik: Menengahi Ruang Dialektika 122 Tahun Pesantren Tebuireng

Oleh: Seto Galih Pratomo*

Penulis Buku Nasionalisme Pemuda: Pemikiran-Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari


Di tengah riuhnya ucapan Selamat Harlah Lembaga Pendidikan istimewa yang menjadi pondasi awal sistem Pendidikan di Indonesia yaitu Pondok Pesantren, yakni peringatan berdirinya 122 Tahun Pesantren Tebuireng pada 3 Agustus 2021. Selain ucapan, ada hal menarik yang menjadi pembahasan, terlebih santri atau masyarakat Pesantren Tebuireng. Berawal dari tulisan opini seorang teman penulis semasa mondok di Pesantren Tebuireng, yaitu Muhammad Lutfi berjudul “Barokah adalah Candu Santri dan Tebuireng Salah Satunya” yang ditulis di website opini.id, tulisannya bisa dibaca disini (klik). Disini penulis mencoba membahas lebih lanjut maksud dari dia dan mencoba menengahi hal ini agar tidak terjadi bola panas yang liar yang berkelanjutan. Penulis mencoba menengahi, tidak membela siapapun agar nantinya terjadi kepemahaman bersama, perspektif kolektif.

 

Sebelumnya teman penulis ini, Lutfi merupakan Santri Tebuireng Jombang yang belajar disana selama enam tahun lamanya, yaitu MTs dan MA. Salafiyah Syafi'iyah. Sekarang dia menjadi mahasiswa di UIN Walisongo Semarang. Sepengamatan penulis terhadap Lutfi, dia merupakan santri yang rajin untuk mengkaji kitab kuning, sampai dia pernah menjuarai Musabaqoh Qiro’atil Kutub (MQK) 2018 Se-Jawa Madura yaitu Juara Harapan 1. Berita dia menjuarai bisa dibaca disini (klik) yang penulis tulis kala itu.

 

Dilihat dari latar belakang dia, bisa penulis dan pembaca sekalian menganalisis bahwa seorang Lutfi merupakan pengkaji dan pencinta kitab kuning. Maka dengan latar belakang tersebut, Lutfi menuliskan pemikirannya di opini.id bukan tanpa alasan, karena dia yang langsung merasakan siklusnya. Ini merupakan sebuah autokritik dari seorang santri. Autokritik sendiri dalam KBBI yaitu kritik terhadap diri sendiri (individu, organisasi, Lembaga, dan sebagainya) untuk perbaikan kedepannya. Hal tersebut yang penulis tangkap dari niat mulia tulisan seorang Lutfi tersebut. Dan juga mengkritik kelakuan teman-temannya yang makin jauh dari kultur salaf, yaitu kitab kuning.

 

Namun sayangnya, niat mulia tersebut ditangkap oleh banyak personal sebagai sebuah hal yang tak elok. Apalagi pemilihan diksi, “Darurat Salaf” dan “Barokah sebagai Candu”. Dari situ muncul perspektif liar yang menganggap hal tersebut sebagai penghinaan atau merendahkan. Padahal maksud dari Lutfi tadi berniat mulia, mengkritik kekurangan untuk melakukan perbaikan kedepannya. Dari disitulah muncul bola panas yang seakan-akan menjadikan otokritik. Otokritik sendiri menurut KBBI yaitu seseorang atau Lembaga yang anti atau alergi terhadap sesuatu yang mengkritiknya.

 

Padahal founding fathers Pesantren Tebuireng, Hadratussyaikh KH.M. Hasyim Asy’ari mengajarkan untuk berdemokratis atau bermusyawarah dalam menentukan sebuah sikap. Seperti yang terdapat dalam buku yang penulis tulis yaitu Nasionalisme Pemuda: Pemikiran-Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari. Beliau Hadratussyaikh mengajarkan santrinya untuk melakukan autokritik, seperti dalam salah satu kitab yang beliau tulis berjudul “Ziyadah Ta’aliqat ‘ala Manzhumat al-Syaikh ‘Abdillah ibn Yasin al-Fasuruwani" (Catatan Tambahan mengenai syair Syaikh Abdullah bin Yasin Pasuruan) yang berisi respon dari Hadratussyaikh terhadap kritikan Syaikh Abdullah bin Yasin Pasuruan terhadap organisasi yang didirikannya, Nahdlatul Ulama.

 

Hadratussyaikh sendiri tidak bersikap otokritik terhadap kritik yang datang kepadanya, melainkan beliau terbuka dan senang terhadap masukan dan kritik yang tertuju padanya. Dengan menuliskan kitab tersebut, Hadratussyaikh mengajarkan kita, khususnya santri-santrinya untuk bersikap ‘arif dalam merespon sesuatu, terlebih kritikan. Maka dari tulisan seorang Lutfi itu direspon oleh Ustadz Dr. Anang Firdaus di website tebuireng.online dengan judul “Tebuireng yang Saya Tahu”, tulisan tersebut bisa dibaca disini (klik). Juga direspon oleh pimred tebuireng.online, Ustadz Muhammad Abror yang berjudul “Sampai Detik Ini, Api Tebuireng Masih Menyala”, tulisan tersebut bisa dibaca disini (klik)

 

Hal tersebut membuka ruang dialektika jarak jauh melalui tulisan yang menurut penulis sangat istimewa. Karena jarang sekali seorang santri yang berani memberikan kritik pada pondoknya dan guru-gurunya menanggapinya untuk meluruskannya. Ruang dialektik yang mungkin ini diharapkan oleh Hadratussyaikh untuk saling menghargai dan menghormati sebuah pendapat. Seperti halnya Hadratussyaikh ajarkan.

 

Tapi amat disayangkan, dari kritik Muhammad Lutfi tersebut jika dijadikan bola panas yang liar. Bahkan sampai menimbulkan menghakimi sendiri, saling hina atau menjelekkan satu sama lain. Padahal Hadratussyaikh dan Tebuireng sendiri mengajarkan prinsip Moderat yaitu mengambil jalan tengah untuk saling memahami akan perbedaan. Karena pada dasarnya semua manusia memiliki otak sendiri dan memiliki cara pandang sendiri. Apalagi dalam Prinsip Dasar Tebuireng mengajarkan kita untuk Tasamuh atau Toleransi. Termasuk bertoleransi tentang perbedaan pendapat seseorang. Hal ini sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an yang terdapat dalam Q.S An-Nahl ayat 125 yang berbunyi:

 

اُدْعُ اِÙ„ٰÙ‰ سَبِÙŠْÙ„ِ رَبِّÙƒَ بِالْØ­ِÙƒْÙ…َØ©ِ ÙˆَالْÙ…َÙˆْعِظَØ©ِ الْØ­َسَÙ†َØ©ِ ÙˆَجَادِÙ„ْÙ‡ُÙ…ْ بِالَّتِÙŠْ Ù‡ِÙŠَ اَØ­ْسَÙ†ُۗ

 

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik (Q.S. An-Nahl: 125)

 

Dalam ayat tersebut untuk bermusyawarah dengan baik. Kalaupun ada salah dengan tulisan seorang Lutfi, contoh dari kesalahan memilih kata “Tebuireng Darurat Salaf” yang padahal menurut pengurus Tebuireng memiliki penguatan salaf yaitu Lembaga khusus salaf yang mengkaji kitab kuning yaitu Madrasah Mu’alimin Hasyim Asy’ari dan Ma’had Aly Hasyim Asy’ari. Maka muncul diksi di atas karena lumrah seorang Lutfi merupakan siswa MA dan bukan siswa dari dua Lembaga tersebut yang memang full dan fokus ke salaf an nya, kitab kuning. Hal itu mengajarkan kita semua terlebih teman saya Lutfi untuk berhati-hati memilih diksi agar nanti tidak timbul kerancuan berpikir.


Maka dari itu sudah seyogyanya para Ustadz juga untuk memberikan hikmah dan pengajaran dengan cara yang baik, bukan main hakim sendiri. Dan jadikan ruang dialektika “wajadilhum billatii hiya ahsan” yaitu berdialektika dengan cara yang baik pula. Mungkin dari tulisan Muhammad Lutfi tersebut akan menjadikan refleksi bagi kita semua khususnya santri Tebuireng untuk mengkaji lagi dan lebih dalam keTebuirengan agar tidak hanya saja larut dalam kemewahan Tebuireng. Disini penulis tidak menjudge salah atau benar hal-hal di atas, karena kebenaran itu bersifat absolut. Kebenaran hanya milik Allah Ta’ala. Mungkin itu yang bisa penulis sampaikan dalam tulisan ini. Kurang lebihnya mohon maaf.


*Penulis merupakan santri Pesantren Tebuireng Jombang yang saat ini menjadi Mahasiswa di FH-Universitas Islam Indonesia

(red/segapmedia.online)

4 komentar:

  1. Haduu ini lagi artikel juga ngga bermutu mau membela tapi kelihatan gobloknya emang bener bener santri zaman sekarang itu suul adab kepada para guru

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sudut pandangku tentang mereka.
      Yang banyak tanya(komen) tanpa membaca.
      Katanya sekolah, tapi otaknya mana?
      Tolong dirubah pola fikirnya.

      Banyak gaya, kosong isinya.
      Sedikit gerak, banyak maunya.
      ~ Lagu Negara Lucu -Enau

      Hapus
    2. Punten sebelumnya pembaca yang budiman, berbicara masalah artikel bermutu atau tidak memangnya artikel yang dikatakan bermutu, baik dan benar itu yang seperti apa ?

      Hapus
  2. Pandangannya bagus, keren, tidak membela siapapun. Bahkan mampu menjadi muhasabah/intropeksi kita bersama

    BalasHapus

Yuk tulis kesanmu setelah membaca tulisan di atas. Masukan, kritik, dan saran. Terima kasih. Salam literasi.