Oleh: Seto Galih Pratomo
Tentang Pancasila, pakai bahasa simpel dan milenial aja biar mudah dipahami. Jadi gini ceritanya, semasa Orba, semua organisasi wajib berasaskan Pancasila atau nasionalism. Saat itu banyak ormas yang tidak menerima keputusan itu yang tertuang pada UU ORMAS No. 8 Tahun 1989. Terlebih ormas Islam tidak ada yang menerimanya, karena waktu itu lewat Partai Masyumi sampai Partai NU, masih mempunyai ambisi untuk mendirikan Indonesia dengan dasar negara syariat Islam sesuai Pancasila 22 Juni 2021. Yang sila Pertamanya berbunyi, "Ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Namun untuk meredam konflik dengan Timur Indonesia, Ir. Soekarno menjanjikan Pancasila akan diubah dahulu agar bisa disahkan dan akan dikembalikan sesudahnya.
“Kalau umat Islam pada tahun 1945 terpaksa menerima Undang-Undang Dasar 1945, itu oleh karena Bung Karno pada tanggal 18 Agustus 1945 telah menjanjikan kapada wakil-wakil umat Islam dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan bahwa dikemudian hari selekas mungkin mereka akan dapat menyempurnakan Undang-Undang Dasar sesuai cita-cita umat Islam. Janji beliau (Soekarno-pen) itu dipegang teguh dan ditagih kini oleh umat Islam.” (Abdul Kahar Muzakkir)
Pada awal-awal kemerdekaan negara Indonesia, tepatnya sehari setelah proklamasi kemedekaan, Kasman Singodemedjo dipanggil oleh Soekarno ke Jakarta untuk dijadikan anggota tambahan Penitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dengan tujuan supaya dapat melobi Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Muhammadiyah yang ketika itu salah satu tokoh yang mempertahankan supaya syariat Islam tidak dihaspuskan dalam Piagam Jakarta, dan Islam harus menjadi Dasar Negara Indonesia.
“Kiai, kemarin proklamasi kemerdekaan Indonesia telah terjadi. Hari ini harus cepat-cepat ditetapkan Undang-Undang Dasar sebagai dasar kita bernegara, dan masih harus ditetapkan siapa presiden dan lain sebagainya untuk melancarkan perputaran roda pemerintahan. Kalau bangsa Indonesia, terutama pemimpin-pemimpinannya cekcok, lantaran bagaimana?” ujar Kasman membujuk.
Kasman terus berusaha membujuk dengan memohon,
“Kia, tidaklah bijakasana jikalau kita sekarang sebagai umat Islam yang mayoritas ini sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata termaksud demi kemenangan cita-cita kita bersama, yakni tercapainya Indonesia merdeka sebagai negara yang berdaulat, adil, makmur, tenang, tentram, diridhai Allah Swt.”
Kasman membujuk Ki Bagus karena ada janji dari Soekarno bahwa enam bulan kemudian akan diadakan sidang, dan umat Islam bisa memperjuangkan aspirasinya dalam sidang itu. “Nanti kalau kita bernegara dalam suasana yang lebih tentram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang yang lengkap dan sempurna.” Demikian ujar Kasman dengan mengutip janji Soekarno. (Artawijaya, 2014:83-84)
Nah, pada sidang PPKI pada 18 Agustus 1945, tujuh kata yang dapat menjadi dasar pemberlakukan hukum Islam atau Islam sebagai dasar negara Indonesia dicoret. Sedangkan, Mohammad Hatta mengakui pencoretan tujuh kata tersebut (Kewajiban menjalankan syariat-syariat Islam bagi pemeluknya) telah disetujui oleh Ki Bagus Hadikusumo, KH. A. Wahid Hasyim, Tengku M. Hasan, dan Kasman Singodemedjo. Latar belakang pencoretan itu menurut Hatta, karena pada sore hari tanggal 17 Agustus 1945, dirinya didatangi oleh seorang dari bagian timur Indonesia yang diantar oleh Maeda (penguasa militer di Jakarta) dan meminta agar tujuh kata di Piagam Jakarta itu dicoret karena bersifat diskriminatif bagi golongan non-muslim. (Moh. Mahfud MD, 2011:240-241)
Nah, kembali kita lihat ada dua perbedaan pendapat atas pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut. Pendapat yang paling kuat adalah, pendapat yang pernah diutarakan oleh Kasman, karena dia disuruh oleh Soekarno melobot tokoh-tokoh umat Islam di Indonesia dengan janji nantinya akan dibuat rapat dan dapat menyusun suatu dasar negara dan aturan hukum berdasarkan Islam. Tujuh kata itu pun berganti dengan redaksi “Ketuhanan Yang Maha Esa." Namun hari berganti hari, janji Ir. Soekarno itu tidak segera dilaksanakan dan akhirnya banyak tokoh Islam yang kecewa.
Nah lanjut Orba, banyak organisasi yang dibubarkan karena tidak menerima Pancasila sebagai Asas, termasuk HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) yang didirikan atas asas Islam, maka dari itu muncul HMI Dipo yang mendualisme Asas dan ada HMI MPO yg setia dengan khittah organisasi. Namun sebelum itu, Nahdlatul Ulama dengan Muktamar Alim Ulama NU ke-27 pada tahun 1984 yang memutuskan menerima Pancasila sebagai Asas. Namun tidak menggantikan Islam.
"Pancasila bukan agama dan tidak bertentangan dengan agama dan tidak digunakan untuk menggantikan kedudukan agama," KH. Abdurrahman Wahid
Menariknya pada Muhammadiyah yaitu Muktamar Muhammadiyah ke-41 di Solo saat itu ternyata menjadi salah satu Muktamar yang sangat krusial dan genting. Muktamar ke-41 terpaksa harus diundur setahun lebih, dari 1983 menjadi 1985. Diundur bukan karena soal teknis atau soal biaya, tetapi karena soal prinsip. Lagi-lagi soal Asas Tunggal Pancasila. Sebelumnya, Muhammadiyah menggunakan asas Islam dalam anggaran dasarnya. Oleh karena itu Muhammadiyah harus mengubah asasnya menjadi Pancasila. Ternyata ini tidak mudah dan terjadi perdebatan yang keras dan sengit. Mencantumkan asas Islam bagi Muhammadiyah adalah soal keyakinan dan niat.
Muhammadiyah menyebut dirinya sebagai gerakan Islam dan menjadikan Islam sebagai dasar perjuangannya. Muhammadiyah bukan organisasi yang anti Pncasila dan tidak menganggap Pancasila bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Namun dengan mengubah asas Islam menjadi Pancasila, ada kekhawatiran jika hal tersebut akan mengurangi bahkan menghilangkan niat ke-Islaman Muhammadiyah. Tentu ini bukan masalah mudah dan sepele. Sebagian tokoh Muhammadiyah bahkan mengancam akan keluar dari Muhammadiyah jika akhirnya mengubah asasnya.
Sebagai Ketua (Umum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pak AR Fachruddin harus berpikir keras agar tetap bisa menjaga persatuan Muhammadiyah, tetapi juga tetap bisa menyelesaikan persoalan asas tunggal tersebut. Akhirnya ditemukanlah jalan keluarnya. Muhammadiyah mencantumkan asas Pancasila. Namun dalam salah satu pasal di anggaran dasarnya (tentang identitas) disebutkan bahwa Muhammadiyah adalah organisasi Islam dan beraqidah Islam.
Kemudian dalam maksud dan tujuannya Muhammadiyah menyatakan: Menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud Masyarakat Utama yang diridlai Allah SWT. Dalam sambutannya, Pak AR mengibaratkan bahwa berasas Pancasila ibarat seperti peraturan lalu lintas yang mewajibkan penggunaan helm dalam bersepeda motor. Menurut Pak AR, menggunakan helm adalah bagian dari ketaatan terhadap peraturan tanpa harus kehilangan identitas dan kepribadiannya. (Muhammadiyahsolo)
(red/segapmedia.online)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Yuk tulis kesanmu setelah membaca tulisan di atas. Masukan, kritik, dan saran. Terima kasih. Salam literasi.